This is featured post 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Kader Tulang Punggung Revolusi

0 komentar

Che_Guevara_01

Artikel ini dimuat dalam Jurnal bulanan Cuba Socialista, edisi September 1962. Pada saat artikel ini ditulis PURS berada dalam proses pembentukannya, Pada bulan Maret 1962, pendahulu-pendahulunya ORI, The Integrated Revolution –yang dibentuk melalui penggabungan Gerakan 26 Juli, Partai Sosialis Popular dan Directorate Revolsioner–telah menjalani suatu – proses reorganisasi menuju konsolidasi partai baru di paruh akhir 1963, pusat tari reorganiiasi ini adalah pertemuan-pertemuan yang diadakan pada ribuan tempat-tempat kerja di seluruh Kuba. Masing-masing pertemuan mendiskusikan dan memiiih dari tempat kerja itu seorang pekerja teladan. Mereka yang terpilih pade gilirannya dipertimbangkan untuk keanggotaan partai.

Oleh : Che Guevara

TAK PERLU lagi untuk meragukan watak khas revolusi kita, tentang hal-ikhwalnya, dengan semangat spontanitasnya, yakni transisi yang berlangsung dari revolusi pembebasan nasional menuju revolusi sosialisme. Dan tak perlu pula meragukan peningkatan pesat dari tahap-tahap perkembangannya, yang dipimpin oleh orang-orang yang sama yang ikut serta dalam peristiwa heroik penyerangan garnisun Moncada, berlanjut melalui pendaratan Granma, dan memuncak pada deklarasi watak sosialis dari revolusi Kuba. Para simpatisan baru, kader-kader, dan organisasi-organisasi membentuk sebuah strukfur organisasional yang pada awal gerakan masih lemah, sampai kemudian berubah menjadi luapan rakyat yang akhirnya mencirikan revolusi kita.

Ketika kemudian menjadi nyata bahwa suatu kelas sosial baru secara tegas mengambil alih kepemimpinan di Kuba, kita juga menyaksikan keterbatasan yang besar dalam menggunakan kekuasaan negara karena adanya kondisi-kondisi yang kita temukan di dalam tubuh negara. Tidak ada kader untuk melaksanakan sejumlah besar pekerjaan yang harus diisi dalam aparat negara, dalam organisasi-oganisasi politik, dan seluruh front ekonomi.

Segera setelah kekuasaan berhasil direbut, pos-pos birokratik hanya diisi dengan cara ‘asal tunjuk’ saja. Tidak menimbulkan masalah yang besar–tidak satupun karena struktur lama belum dihancurkan. Aparat berfungsi lamban dan tertatih tatih seperti sesuatu yang tua dan hampir mati. Tapi ia memiliki organisasi dan di dalam organisasi yang- memadai untuk mempertahankan dirinya melalui kelembaman, melecehkan perubahan-perubahan politik sebagai awal bagi perubahan struktur ekonomi.

Gerakan 26 Juli yang masih disibukkan oleh pertarungan internal sayap kanan dan sayap kiri, tidak bisa mencurahkan dirinya untuk tugas-tugas pembangunan. Dan Partai Sosialis popular yang karena terlampau lama mengalami serangan-serangan keji dan bergerak di bawah tanah selama bertahun-tahun, tidak mampu mengembangkan kader-kader menengah untuk menangani tanggung jaawab baru.

Ketika campur tangan negara yang pertama kali dalam ekonomi berlangsung, tugas-tugas menemukan kader tidaklah terlalu rumit, dan memungkinkan untuk memilih diantara rakyat yang telah memiliki basis minimum untuk menjalankan posisi-posisi kepemimpinan. Tetapi dengan akselerasi proses yang dinilai dengan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika dan kemudian disusul dengan perusahan-perusahaan besar Kuba, kebutuhan nyata untuk teknisi-keknisi administrasi mulai muncul. Di sisi lain, kebutuhan akan teknisi-teknisi produksi dirasakan semakin mendesak. karena larinya banyak teknisi yang tertarik oleh posisi-posisi yang lebih baik yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaaan imperialis di AS atau di negeri Amerika Latin lainnya. Sementara sibuk dengan tugas-tugas organisasional ini, aparat-aparat politik harus melakukan upaya yang gigih untuk memperhatikan masalah ideologi kepada massa yang bergabung dalam revolusi dan berhasrat besar untuk belajar.

Kita semua telah berusaha menjalankan peran sebaik mungkin, tapi bukannya tanpa ada masalah dan kekecewaan. Banyak kekeliruan yang dilakukan dalam bidang administratif di tingkat eksekutif pusat. Banyak kesalahan telah dibuat oleh para administratur baru di perusahaan-perusahaan yang sarat dengan tanggung jawab besar. Kita juga mengakui adanya-kekeliruan besar dan mahal yang dilakukan oleh aparat-aparat politk, yang sedikit demi sedikit merosot menjadi birokrasi yang melenakan.dan menghanyutkan, yang dijadikan sebagai batu loncatan untuk pos-pos birokratik yang penting atau kurang penting yang pada akhirnya memisahkan mereka dari massa.

Penyebab utama dari kekeliruan-kekeliruan kita adalah kurang memahami kenyataan yang ada. Selain itu, kita kekurangan perangkat, yang menumpulkan pandangan kita dan membelokkan-partai menjadi sebuah organisasi birokratik, yang membahayakan administrasi dan produksi, kita kekurangan kader-kader maju pada tingkat menengah. Ini merupakan bukti bahwa pengembangan kader sama artinya dengan kebijakan turun ke massa. Semboyannya adalah sekali lagi untuk menegakkan kontak dengan massa, kontak yang dipelihara terus oleh revolusi pada masa-masa awalnya.tapi ini harus ditegakkan melalui mekanisme yang mampu memberikan hasil-hasil yang paling menguntungkan baik bagi kepentingan sentimen massa maupun dalam penyampaian kepemimpinanpolitik, yang di banyak kasus hanya diberikan melalui campur tangan PM Fidel Castro atau beberapa pimpinan revolusi lainnya.

Pada titik ini kita dapat mengajukan pertanyaan : apakah itu kader ? kita harusmenyatakan bahwa seorang kader adalah seorang individu yang telah mencapai perkembangan politik yang cukup mampu menafsirkan petunjuk-petunjuk yang lebih besar berasal dari kekuasaan pusat menjadikanya sebagai miliknya dan memegangnya sebagai suatu orientasi ke massa ; seseorang yang pada saat yang sama harus juga mampu menafsirkan isyarat-isyarat yang dimunculkan oleh massa mengenai keinginan-keinginan dan motivasi mereka yang paling dalam.

Seorang kader adalah seorang yang memiliki disiplin ideologis dan administratif, yang mengetahui dan mempraktekkan sentralisme-demokrasi dan yang mengetahui bagaimana mempraktekkan azas diskusi kolektif dan pengambilan keputusan serta tanggung jawabnya masing-masing. Ia adalah seorang individu yang telah terbukti kesetiaannya, yang keberanian lahiriah dan moralnya telah berkembang seiring dengan perkembangan ideologisnya, yang dengan demikian ia selalu berkeinginan untuk menghadapi setiap perdebatan dan bahkan menyerahkan seluruh hidupnya untuk kejayaan revolusi. Sebagai tambahan, ia juga seorang individu yang dapat berfikir berdikari, yang mampu membuat keputusan-keputusan yang diperlukan dan melakukap prakarsa kreatif yang tidak bertentangan dengan disiplin.

Karenanya, kader adalah seorang pencipta seorang pemimpin yang berpendirian kukuh, seorang teknisi dengan tingkat politik yang baik, yang memegang prinsip dialektika untuk memajukan sektor produksinya, atau mengembangkan massa dari posisi kepemimpinan politiknya.

Manusia teladan ini, yang dari luar nampak seolah-olah tingkat kebajikannya itu sulit dicapai, ternyata hadir diantara rakyat Kuba, dan kita menemuinya tiap hari. Hal yang pokok sebetulnya adalah mengambil manfaat dari setiap peluang yang ada guna mengembangkan mereka semaksimal mungkin, untuk mendidiknya, untuk menarik manfaat yang paling besar dari setiap kader dan mengalihkannya menjadi nilai tertinggi bagi kepentingan bangsa.

Pengembangan saorang kader dicapai melalui pelaksanaan tugas-tugas setiap hari. Selain itu, tugas-tugas itu harus dijalankan secara sistematik, di dalam sekolah-sekolah khusus, diajar oleh pengajar yang kompeten–yang memberikan teladan bagi murid-muridnya–akan mendorong kemajuan ideologis yang paling pesat .

Dalam sebuah sistem yang sedang mulai membangun sosialisme,jelas kader harus maju secara politik. Selain itu, bila kita mempertimbangkan perkembangan politiknya, kita tidak hanya memperhitungkan teori Marxist. Kita harus juga menuntut tanggungjawab dari individu terhadap tindakan-tindakannya, sebuah disiplin yang mengendalikan setiap kelemahan dan yang tidak menghambat lahirnya prakarsa Dan kita harus menuntut kekhusukkannya yang terus-menerus terhadap semua masalah-masalah revolusi. Untuk dapat mengembangkan seorang kader, kita harus memulai dengan menegakkan prinsip seleksi diantara massa. Di sana lah kita menemukan individu-individu yang berkembang, yang diuji oleh pengorbanan atau yang baru mulai menunjukkan kepeduliannya dan menugaskan mereka ke tempat-tempat belajar khusus ; atau bila belum ada sekolah-sekolah sedemikian, berikan mereka tanggung jawab yang lebih sehingga mereka teruji dalam kerja praktek.

Dengan cara ini kita telah menemukan sejumlah besar kader-kader baru di tahun-tahun.belakangan ini. Tapi perkembanqan mereka tidaklah sama, ketika kawan-kawan muda itu harus menghadapi kenyataan dimana kemunculan pera revolusioner itu tanpa kepemimpinan partai yang memadai. Beberapa diantaranya memang benar-benar berhasil, tetapi lainnya tidak dapat menyelesaikannya dan terputus di tengah jalan Atau lenyap begitu saja ditelan labirin birokrasi, atau terperosok ke dalam godaan-godaan kekuasaan.

Melalui aksi Partai Persatuan Revolusi Sosialis. (Kita telah mulai meletakkan fondasi ini bersama Sekolah Pengajaran Revolusioner, tingkat nasional dan propinsi dan bersama kelompo-kelompok pengkajian dan studi di semua tingkatan). Kita juga membutuhkan kader-kader militer. Untuk mencapai itu kita dapat memanfaatkan proses seleksi selama perang yang dibuat diantara pejuang-pejuang muda kita. Karena, banyak diantara mereka yang masih hidup tapi tanpa pengetahuan teoritik yang Cukup tapi mereka teruji di bawah siraman peluru. Mereka teruji di dalam keadaan perjuangan yang paling su1it, dengan kesetiaan yang telah terbukti kepada rejim revolusioner sejak kelahiran dan perkembangannya, mereka berkait erat semenjak perang gerilya pertama di Sierra Maestra itu. Kita juga mengembangkam kader-kader ekonomi, yang akan mengabdikan dirinya khusus untuk menghadapi perencanaan yang sulit dan tugas-tugas negara sosialis pada masa pembentukannya.

Adalah perlu untuk bekerja dengan kaum profesional, dengan mendesak kaum muda untuk mengikuti salah satu karir teknik yang lebih penting dalam upaya memberikan i1mu pengetahuan, sebuah energi antusiasme ideologis yang menjamin kelajuan pembangunan, adalah keharusan untuk menciptakan suatu tim administratif yang mengetahui bagaimana menqambil manfaat dan_ menyesuaikan pengetahuan teknis khusus lainnya, serta membimbing perusahaan-perusahaan organisasi negara lainya, untuk membawa membawanya sejalan dengan irama revolusi.

Ukuran umum bagi semua kader ini adalah kejernihan politik. Tapi ini bukan berarti dukungan membabi buta terhadap dalil-dalil revolusi, melainkan suatu dukungan yang beralasan hal itu memerlukan kapasitas yang besar untuk berkorban dan satu kapasitas analisis dialektis yang memungkinkannya untuk memberikan sumbangan yang berkesinambungan pada semua tingkatan, hingga memperkaya teori dan praktek revolusi. Kawan-kawan ini harus diseleksi hanya dengan penerapan prinsip bahwa yang terbaiklah yang akan maju ke depan dan yang terbaiklah harus diberikan kesempatan terbesar untuk berkembang.

Dalam semua situasi ini, fungsi kader adalah sama pada masing-masing front yang berbeda. Kader adalah komponen penting dari motor ideologis dari Partai Persatuan Revolusi. Hal ini adalah sesuatu yang dapat kita sebut sebagai gigi penggerak dari motor itu. Menjadi penggerak lantaran ia merupakan bagian dari motor yang menjamin agar motor tersebut bekerja dengan benar. Menjadi penggerak karena ia tidak hanya sekedar penyampai slogan atau menuntut kenaikan atau penurunan, tetapi seorang pencipta yang akan membantu dalam pengembangan massa dan penyampai informasi pada para pemimpin serta menjembatani kontak diantara mereka. Kader memiliki misi penting yang melihatnya bahwa semangat besar revolusi tidak terkikis, dan semnagat besar revolusi tidak terbuang percuma dan tidak terlelap atau berkurang ritmenya. Ini merupakan posisi yang rawan. Ia menyampaikan apa yang datang dari massa dan menanamkan orientasi partai pada massa.

Oleh karena itu perkembangan kader sekarang adalah sebuah tugas yang tak dapat ditunda lagi. Pengembangan massa telah dilaksanakan oleh pemerintah dengan tekad yang besar dan dengan program-program bea-siswanya, dengan prinsip seleksi dengan program studi untuk para pekerja yang menawarkan berbegai kesempatan bagi pengembangan berbagai teknologi; dengan pengembangan sekolah-sekolah teknik yang khusus; dengan pengembangan sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang membuka karir-karir baru. Pendeknya, hal ini dilakukan dengan pengembangan studi, kerja, dan kewaspadaan revolusioner sebagi semboyan bagi seluruh negeri kita, yang secara fundamental berbasis pada persatuan Komunis Muda, darimana semua jenis kader harus muncul di masa depan. Bahkan kader-kader pimpinan revolusi.

Hal yang berkaitan erat dengan konsep “kader” adalah konsep kapasitas untuk berkorban, untuk memperlihatkannya melalui contoh-contoh pribadi dari kebenaran dan semboyan revolusi. Sebagai pimpinan politik, para kader harus memperoleh penghargaan dari para pekerja oleh tindakan-tindakan mereka. Adalah suatu keharusan, bahwa mereka memperoleh penghargaan dan kecintaan dari kawan-kawan mereka yang mereka harus bimbing dalam jalan kepeloporan.

Karena semua inilah, tidak ada kader yang lebih baik daripada mereka yang dipilih oleh massa di dalam pertemuan-pertemuan yang memilih para pekerja teladan, yang akan bergabung di dalam PURS bersama anggota-anggota lima ORI yang lulus dalam semua ujian seleksi. Pada awalnya, mereka hanya merupakan sebuah partai kecil tap I dengan pengaruh yang besar diantara para pekerja. Kemudian akan tumbuh di saat kemajuan kesadaran sosialis mulai menunjukkkan hasilnya dan ketaatan total terhadap perjuangan rakyat menjadi suatu hal yang diperlukan. Dengen pimpinan-pimpinan perantara dengan kualitas ini, tugas-tugas sulit yang berada di hadapan kita akan diselesaikan dengan kesalahan yang lebih sedikit. Setelah melalui suatu periode yang membingunghan dan metode yang buruk, akhirnya kita tiba pada satu kebijaksanaan yang tepat yang tidak akan pernah ditinggalkan. Dengan impuls kelas pekerja yang selalu diperbarui yang disirami dari pancuran air yang tiada habis-habisnya, para anggota PURS masa depan, dan kepemimpinan partai kita, sepenuhnya kita laksanakan tugas pembentukan kader-kader yang akan menjamin perkembangan yang kukuh dari revolusi kita. Kita harus berhasil dalam tugas ini.

Dosa-dosa Demokrasi

0 komentar

Oleh : YASRAF AMIR PILIANG

(Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, Institut Teknologi Bandung)

SETELAH kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada 1998, “sistem demokrasi” dilihat sebagai satu-satunya harapan yang dapat membawa bangsa ini menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Akan tetapi, setelah lebih dari satu dekade masa transisi, yang tumbuh di kalangan masyarakat adalah pandangan pesimistis atau skeptis terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasi lebih dilihat sebagai “masalah” ketimbang “solusi”, “ekses” ketimbang “pencerahan”, “disorder” ketimbang “order”.

Demokrasi malah diasosiasikan dengan aneka bentuk kekerasan massal, kekacauan publik, demonstrasi anarkistis, tindak kejahatan, ketiadaan hukum, matinya etika, runtuhnya tabu dan ketakpedulian sosial yang akut. Demokrasi dijadikan raison d`etre bagi orang atau kelompok tertentu untuk memaksakan kehendak, melampiaskan hasrat, mengutamakan ego, merayakan ekspresi bebas, perilaku menyimpang, dan perbuatan amoral. Demokrasi, ironisnya, justru menjadi “kendaraan” menuju “anarkisme”.

Akan tetapi, menolak demokrasi bukanlah sebuah ajakan bijak pula. Karena sejauh ini tak ada pilihan ideologis lain yang lebih menjanjikan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana membangun “optimisme” secara nasional tentang kekuatan demokrasi dalam membangun masyarakat sejahtera. Bagaimana menafsir ulang demokrasi sebagai kekuatan “pengubah”, “progresif”, “dinamis”, dan “transformatif”, sehingga ketimbang dianggap sebagai “duri” di dalam tubuh bangsa, ia semestinya dilihat sebagai “energi perubahan” ke arah yang lebih baik.

**

MEMANG, proses demokratisasi pada kenyataannya telah meninggalkan berbagai “dosa” kolektif, yang malah mengancam integrasi bangsa. Pertama, ketakmampuan merumuskan batas-batas “kebebasan” dan “kedaulatan” (sovereignty) dalam kerangka demokrasi. Di dalam rezim Orde Baru, negara tampil terlalu “kuat” (strong state), sementara masyarakat terlalu “lemah” (weak society). Akan tetapi, di dalam era reformasi, terjadi pembalikan relasi kedaulatan, di mana negara terlalu lemah, sementara masyarakat terlalu kuat, sehingga “kebebasan” tak mampu “dikelola” dengan efektif oleh negara melalui regulasi. (Joel S. Migdal, Strong Societies and Weak States, 1988).

Di pihak lain, pada tingkat komunitas politik-yaitu partai politik-kebebasan lebih diartikan sebagai “kebebasan eksperimentasi politik” dan “komunikasi politik”, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial dan pendidikan warga. Sehingga, demokrasi “meruntuhkan maknanya sendiri”, yang menggiring ke arah “demokrasi nihilistik”, yaitu permainan bebas “citra politik”, yang tercabut dari kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan yang sesungguhnya.

Ruang politik disarati oleh jutaan citra politik manipulatif, yang menggiring pada “desubstansialitas politik”, yaitu terabaikannya aneka persoalan substansial, di balik gemerlap kemasan citra politik.

“Rekayasa citra” (political imagineering) mengambilalih “rekayasa sosial” (social enggineering), di mana solusi-solusi sosial yang riil direduksi menjadi retorika-retorika visual, yang sugestif dan manipulatif. Desubstansialitas demokrasi menggiring pada “ketercabutan politik” dari realitas masyarakatnya sendiri.

Selain itu, demokrasi yang minim regulasi, menggiring ke arah kondisi “melampaui” (hyper), yaitu segala sesuatu yang bergerak ke arah “berlebihan”, “keterlaluan” atau “ekstrimitas”. Ketika dalam proses demokratisasi tak mampu dibangun batas dan norma yang jelas, maka segala sesuatu bertumbuh ke arah titik ekstrim: “kebebasan” yang berlebihan, tuntutan “hak” (right) yang melampaui kapasitas, “tindakan” yang bergerak melewati hukum, sehingga demokrasi dipenuhi oleh beban berlebihan dan ekses. Di sini, demokrasi menjelma menjadi “hiper-demokrasi” (hyper-democracy), yaitu demokrasi yang bertumbuh “melampaui” batas-batas alamiah dan idealnya, sehingga ia kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri (Jean Baudrillard, Fatal Strategies, 1990).

“Hiperdemokrasi” adalah kondisi pertumbuhan elemen-elemen demokrasi (partai, organisasi, aturan, citra, komunikasi, informasi, atribut, simbol) yang melampaui batas rasionalnya, sehingga ia kehilangan konteks, makna, dan tujuannya bagi demos itu sendiri, yaitu kedaulatan warga.

Pemilihan umum legislatif yang lalu merupakan cermin dari kondisi “hiper-demokrasi” itu, di mana pertumbuhan kebebasan (membuat partai, menjadi caleg, melakukan komunikasi politik, memilih) tidak sebanding dengan kemampuan otoritas negara dalam membuat, merumuskan, menyosialisasikan, dan menegakkan aturan atau regulasi politik, sehingga menimbulkan kondisi political chaos yang belum pernah dialami sebelumnya.

**

MASALAH sentral dalam proses demokratisasi adalah bagaimana merumuskan batas, kadar, tingkatan, serta konteks “kebebasan” (freedom), sebagai prinsip sentral demokrasi. Ketimbang menjadi prinsip pembangun, kebebasan itu sering justru menjadi “duri” dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Di sini, perlu reinterpretasi terhadap “makna” kebebasan dalam konteks demokrasi kita: apakah kebebasan itu pada tingkat “individual” atau “sosial”? Apakah ia “tanpa batas” atau “terbatas”? apakah ia bersifat “absolut” atau “relatif”?
Yang pasti, di dalam sistem demokrasi versi apapun, tidak ada yang disebut “kebebasan penuh”. Pemahaman terhadap “keterbatasan kebebasan” inilah yang tidak dibangun di dalam proses demokratisasi selama ini.

Dinamika demokrasi mengikuti prinsip ayunan “pendulum”, antara “kebebasan” (individu, komunitas, masyarakat) dan “regulasi” (negara). Semakin minimal regulasi, semakin maksimal kebebasan, dan sebaliknya. Sistem demokrasi mencari titik “keseimbangan ideal” di antara dua gaya pendulum ini. Akan tetapi, dalam proses demokratisasi selama ini, “keran” kebebasan dibuka tanpa otoritas regulasi yang kuat, sehingga menimbulkan aneka ekses baik pada tingkat individu, komunitas politik (partai) dan masyarakat.

Demokrasi kini menjadi panggung pertunjukan “kebebasan” (bertindak, berbicara, protes, manipulasi, persuasi, berekspresi) tanpa ada respek terhadap aneka regulasi dan aturan. Akibatnya, penyusunan aneka rancangan undang-undang (jabatan, profesi, buruh, pornografi, pendidikan, media) cenderung diterima secara negatif, karena dianggap membatasi kebebasan individual dan kelompok. Padahal, kekuatan demokrasi adalah pada aturan bersama.

Proses demokratisasi yang berlangsung dapat diartikan sebagai pergerakan budaya politik ke arah “individualisme”. Politik yang berwatak “individualisme” menjadikan individu sebagai “inisiator” dalam kompetisi perebutan kekuasaan, yang membangun “kepercayaan” masyarakat melalui “politik pencitraan” (politic of image).

Media komunikasi dimanipulasi untuk menciptakan “citra diri”, sebagai cara menggiring persepsi dan preferensi politik masyarakat. Di masa depan, tampaknya perlu semacam “reposisi” subjektivitas ini, agar tidak terjadi asimetri politik.

Demokrasi yang direduksi menjadi “permainan citra” akan menciptakan “demokrasi tak efektif”, karena aktivitas demokrasi terkonsentrasi pada pembangunan kekuasaan melalui “permainan citra”, dengan mengabaikan realitas sosial. Demokrasi tidak mempunyai fondasi dan legitimasi kuat di dunia “riil”, karena figur politik sering tidak mempunyai kompetensi, kemampuan, dan kapasitas seperti yang dilukiskan melalui citra. (Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, 2004). Di sini, tugas masa depan adalah: bagaimana menciptakan “demokrasi yang efektif”?

**

UNTUK menghasilkan “demokrasi yang efektif”, dengan citra yang baik, dan pandangan yang optimistik, diperlukan upaya “reinterpretasi demokrasi”. Perlu upaya “pengayaan demokrasi” secara konseptual, dengan mengambil pelajaran dari “etika kekuasaan” yang berbasis kearifan lokal dan indigenous knowledge, yang bergerak ke arah pendulum yang sebaliknya.

Pertama, “etika de-individualisme”. Di dalam sistem nilai lokal, individu tidak menjadi entitas otonom dan “titik sentral” kekuasaan. Komunitas yang menjadi “inisiator” dalam mendorong seorang individu menjadi pemimpin, berdasarkan “kepercayaan” (trust) yang dibangun, ditempa dan “diuji” di dalam “praksis” sosial keseharian. Seorang individu tidak mencari-cari “kuasa”, tetapi komunitas yang membangunnya. Melalui “nilai-nilai komunitas” inilah “budaya malu” dibangun, kompetensi dipentingkan, rasa tanggung jawab diutamakan, dan prestasi sosial dijunjung tinggi.

Kedua, “etika ketulusan”, yaitu memberi tanpa pamrih. Proses demokratisasi sejauh ini telah membangun watak “politik ketaktulusan”, di mana orang memberi bantuan (dana, sarana, barang, infrastruktur), semata karena kepentingan politik, yaitu agar dipilih dalam pemilu. Akibatnya, pilihan politik yang diberikan juga tak tulus. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal mengajarkan kita tentang etika memberi, semata dilandasi “moral kebaikan” (good will), dan kebaikan ini menjadi modal kepercayaan, tanpa perlu direkayasa.

Ketiga, “etika merayakan keutamaan” (virtue). Demokrasi yang berbasis individu dan citra lebih merayakan penampakan luar (appearance) ketimbang kedalaman isi, manipulasi citra ketimbang kompetensi, simulasi ketimbang realitas. Padahal, budaya lokal mengajarkan cara menilai seseorang berdasarkan “keutamaan” yang ia perlihatkan: kecerdasan, kecakapan, tanggung jawab, bukan tumpukan materi dan uang. Demokrasi yang tanpa basis keutamaan, hanya menjadi medan perebutan kekuasaan melalui tumpukan materi dan gemerlap citra.

Keempat, “etika dialogisme” (ethics of dialogism), yaitu etika saling bertukar dan memahami secara mutual (mutual understanding). Demokrasi sejauh ini cenderung bersifat eksploitatif, yaitu mengambil (dari rakyat), tanpa memberi (pendidikan warga). Nilai-nilai dialogisme yang bersifat lokal di sini dapat dijadikan pondasi untuk membangun semacam “demokrasi dialogis” (dialogical democracy), di mana ada “pertukaran gagasan” (ideological exchange) antara elite politik dan komunitasnya, bukan “retorika satu arah”, yang berkembang selama ini.

Kelima, “etika kejujuran”. Virtualitas demokrasi, yang menggantungkan diri pada politik pencitraan, sejauh ini telah menciptakan watak “politik ketakjujuran”, di mana komunikasi justru menjadi ajang manipulasi ketimbang kehendak akan “kebenaran” (truth). Demokrasi berbasis kejujuran tak mengandalkan pada citra, tetapi pada akumulasi tindak dan karya. Komunikasi politik adalah sarana semata untuk menyampaikan pesan politik, bukan sarana penciptaan “kesadaran palsu” (false consciousness) .

Demokrasi yang dibangun di atas pondasi “kearifan lokal” dan indigenous knowledge, dapat menjadi demokrasi dengan fundamental dan legitimasi yang kuat, karena hidup di dalam “ruang politik riil”, bukan “imagologi virtual”. Sistem demokrasi dibangun di atas pondasi mutual checking antara pemerintah, komunitas, dan aktor-aktor politik, sehingga aneka “perilaku menyimpang” dalam politik dikoreksi secara mutual. Hanya melalui demokrasi dialogis berbasis lokal itulah, dapat diciptakan sebuah masyarakat politik yang cerdas, kritis, dan penuh optimisme di masa depan.***

Sumber : Koran PR

Pidato Tan Malaka (1922) Tentang Komunisme dan Pan-Islamisme

0 komentar

Penerjemah: Ted Sprague

Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxis Indonesia Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional ke-empat pada tanggal 12 Nopember 1922. Menentang thesis yang didraf oleh Lenin dan diadopsi pada Kongres Kedua, yang telah menekankan perlunya sebuah “perjuangan melawan Pan-Islamisme”, Tan Malaka mengusulkan sebuah pendekatan yang lebih positif. Tan Malaka (1897-1949) dipilih sebagai ketua Partai Komunis Indonesia pada tahun 1921, tetapi pada tahun berikutnya dia dipaksa untuk meninggalkan Hindia Belanda oleh pihak otoritas koloni. Setelah proklamasi kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, dia kembali ke Indonesia untuk berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Dia menjadi ketua Partai Murba (Partai Proletar)), yang dibentuk pada tahun 1948 untuk mengorganisir kelas pekerja oposisi terhadap pemerintahan Soekarno. Pada bulan Februari 1949 Tan Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia dan dieksekusi.

Kamerad! Setelah mendengar pidato-pidato Jenderal Zinoviev, Jenderal Radek dan kamerad-kamerad Eropa lainnya, serta berkenaan dengan pentingnya, untuk kita di Timur juga, masalah front persatuan, saya pikir saya harus angkat bicara, atas nama Partai Komunis Jawa, untuk jutaan rakyat tertindas di Timur.

Saya harus mengajukan beberapa pertanyaan kepada kedua jenderal tersebut. Mungkin Jenderal Zinoviev tidak memikirkan mengenai sebuah front persatuan di Jawa; mungkin front persatuan kita adalah sesuatu yang berbeda. Tetapi keputusan dari Kongres Komunis Internasional Kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah front persatuan dengan kubu nasionalisme revolusioner. Karena, seperti yang harus kita akui, pembentukan sebuah front bersatu juga perlu di negara kita, front persatuan kita tidak bisa dibentuk dengan kaum Sosial Demokrat tetapi harus dengan kaum nasionalis revolusioner. Namun taktik yang digunakan oleh kaum nasionalis seringkali berbeda dengan taktik kita; sebagai contoh, taktik pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum Muslim, Pan-Islamisme. Dua hal inilah yang secara khusus saya pertimbangkan, sehingga saya bertanya begini. Pertama, apakah kita akan mendukung gerakan boikot atau tidak? Kedua, apakah kita akan mendukung Pan-Islamisme, ya atau tidak? Bila ya, seberapa jauh kita akan terlibat?

Metode boikot, harus saya akui, bukanlah sebuah metode Komunis, tapi hal itu adalah salah satu senjata paling tajam yang tersedia pada situasi penaklukan politik-militer di Timur. Dalam dua tahun terakhir kita telah menyaksikan keberhasilan aksi boikot rakyat Mesir 1919 melawan imperialisme Inggris, dan lagi boikot besar oleh Cina di akhir tahun 1919 dan awal tahun 1920. Gerakan boikot terbaru terjadi di India Inggris. Kita bisa melihat bahwa dalam beberapa tahun kedepan bentuk-bentuk pemboikotan lain akan digunakan di timur. Kita tahu bahwa ini bukan metode kita; ini adalah sebuah metode borjuis kecil, satu metode kepunyaan kaum borjuis nasionalis.

Lebih jauh kita bisa mengatakan; bahwa pemboikotan berarti dukungan terhadap kapitalisme domestik; tetapi kita juga telah menyaksikan bahwa setelah gerakan boikot di India, kini ada 1800 pemimpin yang dipenjara, bahwa pemboikotan telah membangkitkan sebuah atmosfer yang sangat revolusioner, dan gerakan boikot ini telah memaksa pemerintahan Inggris untuk meminta bantuan militer kepada Jepang, untuk menjaga-jaga kalau gerakan ini akan berkembang menjadi sebuah pemeberontakan bersenjata. Kita juga tahu bahwa para pemimpin Mahommedan di India – Dr. Kirchief, Hasret Mahoni dan Ali bersaudara – pada kenyataannya adalah kaum nasionalis; kita tidak melihat sebuah pemberontakan ketika Gandhi dipenjara. Tapi rakyat di India sangat paham seperti halnya setiap kaum revolusioner disana: bahwa sebuah pemberontakan lokal hanya akan berahir dalam kekalahan, karena kita tidak punya senjata atau militer lainnya di sana, oleh karena itu masalah gerakan boikot akan, sekarang atau di hari depan, menjadi sebuah masalah yang mendesak bagi kita kaum Komunis.

Baik di India maupun Jawa kita sadar bahwa banyak kaum Komunis yang cenderung ingin memproklamirkan sebuah gerakan boikot di Jawa, mungkin karena ide-ide Komunis yang berasal dari Rusia telah lama dilupakan, atau mungkin ada semacam pelepasan mood Komunis yang besar di India yang bisa menentang semua gerakan. Bagaimanapun juga kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah kita akan mendukung taktik ini, ya atau tidak? Dan seberapa jauh kita akan mendukung?

Pan-Islamisme adalah sebuah sejarah yang panjang. Pertama saya akan berbicara tentang pengalaman kita di Hindia Belanda dimana kita telah bekerja sama dengan kaum Islamis. Di Jawa kita memiliki sebuah organisasi yang sangat besar dengan banyak petani yang sangat miskin, yaitu Sarekat Islam. Antara tahun 1912 dan 1916 organisasi ini memiliki sejuta anggota, mungkin sebanyak tiga atau empat juta. Itu adalah sebuah gerakan popular yang sangat besar, yang timbul secara spontan dan sangat revolusioner.

Hingga tahun 1921 kita berkolaborasi dengan mereka. Partai kita, terdiri dari 13,000 anggota, masuk ke pergerakan popular ini dan melakukan propaganda di dalamnya. Pada tahun 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam juga melakukan agitasii pedesaan mengenai kontrol pabrik-pabrik dan slogan: Semua kekuasaan untuk kaum tani miskin, Semua kekuasaan untuk kaum proletar! Dengan demikian Sarekat Islam melakukan propaganda yang sama seperti Partai Komunis kita, hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.

Namun pada tahun 1921 sebuah perpecahan timbul karena kritik yang ceroboh terhadap kepemimpinan Sarekat Islam. Pemerintah melalui agen-agennya di Sarekat Islam mengeksploitasi perpecahan ini, dan juga mengeksploitasi keputusan Kongres Komunis Internasional Kedua: Perjuangan melawan Pan-Islamisme! Apa kata mereka kepada para petani jelata? Mereka bilang: Lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan perpecahan, mereka ingin menghancurkan agamamu! Itu terlalu berlebihan bagi seorang petani muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku kehilangan surgaku juga? Tidak akan! Ini adalah cara seorang Muslim jelata berpikir. Para propagandis dari agen-agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasi ini dengan sangat baik. Jadi kita pecah. [Ketua: Waktu anda telah habis]

Saya datang dari Hindia Belanda, dan menempuh perjalanan selama empat puluh hari .[Tepuk Tangan]

Para anggota Sarekat Islam percaya pada propaganda kita dan tetap bersama kita di perut mereka, untuk menggunakan sebuah ekspresi yang popular, tetapi di hati mereka mereka masih bersama Sarekat Islam, dengan surga mereka. Karena surga adalah sesuatu yang tidak bisa kita berikan kepada mereka. Karena itulah, mereka memboikot pertemuan-peretemuan kita dan kita tidak bisa melanjutkan propaganda kita lagi.

Sejak awal tahun lalu kita telah bekerja untuk membangun kembali hubungan kita dengan Sarekat Islam. Pada kongres kami bulan Desember tahun lalu kita mengatakan bahwa Muslim di Kaukasus dan negara-negara lain, yang bekerjasama dengan Uni Soviet dan berjuang melawan kapitalisme internasional, memahami agama mereka dengan lebih baik, kami juga mengatakan bahwa, jika mereka ingin membuat sebuah propaganda mengenai agama mereka, mereka bisa melakukan ini, meskipun mereka tidak boleh melakukannya di dalam pertemuan-pertemuan tetapi di masjid-masjid.

Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim – ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan – ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim [Tepuk Tangan Meriah], karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia! [Tepuk Tangan Meriah] Jadi kami telah mengantarkan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kami tahun lalu kami telah memaksa para pemimpin mereka, melalui anggota mereka sendiri, untuk bekerjasama dengan kami.

Ketika sebuah pemogokan umum terjadi pada bulan Maret tahun lalu, para pekerja Muslim membutuhkan kami, karena kami memiliki pekerja kereta api di bawah kepemimpinan kami. Para pemimpin Sarekat Islam berkata: Anda ingin bekerjasama dengan kami, jadi Anda harus menolong kami juga. Tentu saja kami mendatangi mereka, dan berkata: Ya, Tuhan Anda maha kuasa, tapi Dia telah mengatakan bahwa di dunia ini pekerja kereta api adalah lebih berkuasa! [Tepuk Tangan Meriah] Pekerja kereta api adalah komite eksekutif Tuhan di dunia ini. [Tertawa]

Tapi ini tidak menyelesaikan masalah kita, jika kita pecah lagi dengan mereka kita bisa yakin bahwa para agen pemerintah akan berada di sana lagi dengan argumen Pan-Islamisme mereka. Jadi masalah Pan-Islamisme adalah sebuah masalah yang sangat mendadak. Tapi sekarang pertama-tama kita harus paham benar apa arti sesungguhnya dari kata Pan-Islamisme. Dulu, ini mempunyai sebuah makna historis dan berarti bahwa Islam harus menaklukkan seluruh dunia, pedang di tangan, dan ini harus dilakukan di bawah kepemimpinan seorang Khalifah [Pemimpin dari Negara Islam – Ed.], dan Sang Khalifah haruslah keturunan Arab. 400 tahun setelah meninggalnya Muhammad, kaum muslim terpisah menjadi tiga Negara besar dan oleh karena itu Perang Suci ini telah kehilangan arti pentingnya bagi semua dunia Islam. Hilang artinya bahwa, atas nama Tuhan, Khalifah dan agama Islam harus menaklukkan dunia, karena Khalifah Spanyol mengatakan, aku adalah benar-benar Khalifah sesungguhnya, aku harus membawa panji [Islam], dan Khalifah Mesir mengatakan hal yang sama, serta Khalifah Baghdad berkata, Aku adalah Khalifah yang sebenarnya, karena aku berasal dari suku Arab Quraish.

Jadi Pan-Islamisme tidak lagi memiliki arti sebenarnya, tapi kini dalam prakteknya memiliki sebuah arti yang benar-benar berbeda. Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia.

Ini adalah sebuah tugas yang baru untuk kita. Seperti halnya kita ingin mendukung perjuangan nasional, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta Muslim yang sangat pemberani, yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis. Karena itu saya tanya sekali lagi: haruskah kita mendukung Pan-Islamisme, dalam pengertian ini?

Saya akhiri pidato saya. [Tepuk Tangan Meriah]

sumber : marxists.org

Pancasila

0 komentar


IDEOLOGISASI ISLAM: JALAN MENUJU REVOLUSI (PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI)

0 komentar

Oleh: Anjar Nugroho

alishariatithumbnail

Ali Syari’ati dikenal sebagai pemikir yang multi-dimensi dan, karenanya juga, multi-interpretable. Tetapi para pengamat juga dapat melihat semacam pandangan dunia (weltanschauung) yang cukup konsisten dalam tulisan-tulisannya. Pandangan dunia Ali Syari’ati yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi dasar dari ideologi pergerakannya. Dalam konteks ini Syari’ati dapat disebut pemikir politik-keagamaan (politico religio thinker).[1]

Salah satu tema sentral dalam ideologi politik keagamaan Syari’ati adalah agama – dalam hal ini, Islam – dapat dan harus difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural mapun politik. Lebih tegas lagi, Islam dalam bentuk murninya – yang belum dikuasai kekuatan konservatif – merupakan ideologi revolusioner ke arah pembebasan Dunia Ketiga dari penjajahan politik, ekonomi dan kultural Barat. Ia merupakan problem akut yang dimunculkan kolonialisme dan neo-kolonialisme yang mengalienasikan rakyat dari akar-akar tradisi mereka.[2]Atas dasar ini, maka banyak pengamat menyebut Syari’ati sebagai “the ideologist of revolt”.[3]

Dalam pandangan Syari’ati, agama sebagai ideologi diartikan: “suatu keyakinan yang dililih secara sadar untuk menjawab keperluan-keperluan yang timbul dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat”. Ideologi dibutuhkan, menurut Syari’ati, untuk mengarahkan suatu masyarakat atau bangsa dalam mencapai cita-cita dan alat perjuangan. Ideologi dipilih untuk mengubah dan merombak status quo secara fundamental.[4]

Menurut Ali Syari’ati, ada dua jenis agama dalam tahap sejarah. Pertama, agama sebagai ideologi dan kedua, agama sebagai kumpulan tradisi dan konversi sosial atau juga sebagai semangat kolektif suatu kelompok. Is menggambarkan kedudukan agama sebagai ideologi dengan pernyataan:

But one comes to understand Islam in the sense of an ideology in another way. Islam, as an ideology, is not a scientific specialization but is the feeling one has in regard to a school of thought as a belief ystem and not as a culture. It is the perceiving of Islam as an idea and not as a collection of sciences. It is the understanding of Islam as a human, historical and intellectual movement, not as a storehouse of cientific and technical information. And, finally, it is the view of Islam as an ideology in the minds of an intellectual and not as ancient religious sciences in the mind of a religious scholar. (Tetapi orang datang untuk memahami Islam dalam pengertian suatu ideologi di dalam pandangan yang lain. Islam, sebagai suatu ideologi, bukanlah suatu spesialisasi ilmiah tetapi adalah kepekaan seseorang yang mempunyai hubungan dengan suatu aliran pikiran lebih sebagai sistem kepercayaan dan bukan sebagai kultur. Ia memposisikan Islam sebagai suatu gagasan dan bukan sebagai suatu koleksi ilmu pengetahuan. Islam demikian mempunyai pandangan yang utuh tentang manusia, pergerakan intelektual dan sejarah, bukan sebagai suatu gudang informasi teknis dan ilmiah. Dan, pada akhirnya, Islam sebagai ideologi berada dalam pikiran kaum intelektual dan bukan sebagai ilmu pengetahuan religius masa lampau yang berada dalam pikiran ulama.)[5]

Syari’ati menjelaskan tentang proses berubahan agama dari ideologi menjadi sebuah institusi sosial. Munculnya agama sebagai ideologi, papar Syari’ati, dimulai ketika para Nabi muncul di tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan historis untuk membangun dan menyadarkan masyarakat. Ketika para nabi itu memproklamirkan semboyan-semboyah tertentu dalam membantu massa kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah, menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi. Namun kemudian, agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil bentuk agama sebagai institusi sosial.[6]

Berangkat dari asumsi demikian, maka dapat dicari sebuah jawaban dari pertanyaan mengapa Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan cepat dapat diterima oleh masyarakat Arab. Islam sebagai ideologi yang diusung oleh Muhammad membawa orde sosial baru yang disandarkan kepada prinsip keadilan dan persamaan dalam stuktur sosial masyarakat. Islam yang demikian sangat menarik masyarakat Arab yang sudah lama muak dengan bentuk aristokrasi lama yang memerintah dengan tirani, ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan monopolisme. Masyarakat kala itu, mulai menemukan semboyan-semboyan ideologi sebagai obat penyembuhan dari penderitaan dan kesulitan akibat sistem tirani. Islam sebagai ideologi mampu memberikan keyakinan baru yang berbasis kepada kemauan bebas manusia untuk melepaskan diri dari jeratan sistem sosial dan politik tiranik.

Sehingga dapat dimengerti jika kemudian Syari’ati mencoba merekonstruksi “Islam Syi’ah” sebagai ideologi revolusioner. Syari’ati menyatakan dengan jelas, bahwa Islam bukanlah Islam kebudayaan yang melahirkan ulama dan mujtahîd, bukan pula Islam dalam tradisi umum, tetapi Islam dalam kerangka Abu Zar.[7] Islam lahir secara progresif dalam upaya merespon problem-problem masyarakat dan memimpin masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita yang berharga. Dalam hal ini, Islam dipahami sebagai sebuah pandangan dunia yang komprehensif, dan diposisikan sebagai “agama pembebasan” yang concern dengan isu-isu sosial-politik seperti penindasan, diskriminasi, ketidakadilan dan sebagainya. Semangat Islam sebagai ideologi pembebasan mendorong terjadinya revolusi masyarakat Islam untuk membangun konstruksi peradaban baru yang progresif, partisipatif, tanpa penindasan dan ketidakadilan.

Dalam konteks global Syari’ati melihat ada problem besar masa depan dunia Islam, yaitu kolonialisme dan neo-kolonialisme oleh Barat. Hal ini telah mengalienasi masyarakat Muslim dari kebudayaan aslinya (turâts), karena mereka mau tidak mau harus mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang telah “dipaksakan” oleh pihak kolonialis maupun neo-kolonialis. Senada dengan Syari’ati, Hasan Hanafi juga melihat bahwa kolonialisme atau westernisasi mempunyai pengaruh luas terhadap dunia Timur (Muslim), tidak hanya pada budaya dan konsepsi tentang alam, tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban. Bahkan, masih menurut Hanafi, juga merambah pada gaya kehidupan sehari-hari: bahasa, menifestasi kehidupan umum dan seni bangunan. Tidak hanya itu, keterbukaan ekonomi memaksa dunia Islam untuk membuka diri terhadap kapitalisme internasional, demikian juga dengan keterbukaan bahasa, maka konsekwensinya harus menerima kehadiran bahasa asing.[8]

Syari’ati memandang saat itu kolonialisme dan westernisasi telah melanda negara Dunia Ketiga tak terkeculai Iran. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya bentuk-bentuk korporasi multi-nasional, rasisme, penindasan kelas, ketidakadilan, dan mabuk kepayang terhadap Barat (Westoxication). Ia menyatakan bahwa kolonialisme Barat dan kepincangan sosial sebagai musuh terbesar masyarakat yang harus diberantas dalam jangka panjang. Tetapi untuk jangka pendek, menurut Syari’ati, ada dua musuh yang harus segera dimusnahkan: pertama, Marxisme vulgal – menjelma terutama dalam Marxisme-Stalinisme – yang banyak digemari para intelektual dan kaum muda Iran, dan kedua, Islam konservatif sebagaimana dipahami kaum mullah yang menyembunyikan Islam revolusioner dalam jubah ketundukan kepada para penguasa.[9]

Untuk membebaskan massa dari krisis yang membawa mereka mencapai negara yang merdeka dan berkeadilan sosial-ekonomi, Syari’ati yakin bukan melalui Liberalisme, Kapitalisme, ataupun Sosialisme, namun yang bisa mengobati penyakit ini, kata Syari’ati, hanyalah Islam. Baginya, Islam merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan negeri Muslim dari segala bentuk tekanan dan penindasan. Hal ini sangat masuk akal jika Syari’ati menginginkan Islam sebagai penggerak revolusi. Terlebih lagi dalam konteks Iran, Islam (Syi’ah) justru dijadikan sebagai agama resmi negara. Dengan latar belakang yang demikian kondusif, Syari’ati menempuh sejumlah strategi sekaligus mengkonsolidasi masyarakat ke dalam satu paradigma: Islam adalah solusi. Beberapa strategi tersebut mengandung muatan yang sama, yakni menyakinkan masyarakat untuk memilih Islam sebagai jalan perubahan.[10]

Pertama-tama Syari’ati berusaha melakukan ideologisasi Islam dengan menunjukkan karakteristik revolusioner Islam. Ia berupaya membuktikan bahwa Islam agama yang sangat progresif, agama yang menentang penindasan. Syari’ati sangat antusias untuk membuktikan perlunya suatu reformasi bagi pemahaman Islam yang benar, sehingga dibutuhkan figur-figur yang mampu memimpin masyarakat kepada perubahan paradigma dan mental masyarakat. Mereka itulah yang menurut Syari’ati disebut para pemikir tercerahkan (rausanfikr). Kemudian Syari’ati menunjukkan bahwa Islam merupakan akar budaya masyarakat Iran yang telah lama mendarah daging. Dengan demikian masyarakat Iran harus kembali kepada warisan budaya Islam jika menginginkan perubahan.

Untuk mengkonstruksi Islam sebagai sebuah ideologi, mula-mula Syari’ati melakukan redifinisi tentang pemahaman ideologi itu sendiri Syari’ati menjelaskan bahwa ideologi terdiri dari kata “ideo” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan dan lain-lain, dan kata “logi” yang berarti logika, ilmu atau pengetahuan. Sehingga ideologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita.[11] Menurut pengertian ini seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dalam kaitan ini, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dipeluk oleh suatu kelompok tertentu, suatu kelas sosial atau suatu bangsa.[12]

Ideologys includes both a belief and the knowing of it. It is to have a special attitude and consciousness which a person has in relation to himself, his class position, social base, national situation, world and historic destiny as well as the destiny of one’s own society which one is dependent upon… Therefore, ideology is a belief system that interprets the social, rational and class orientation of a human being as well as one’s system of values, social order, form of living, ideal individual, social situation and human life in all its various dimensions. It answers the questions: What are you like? What do you do? What must you do? What must be?

(Ideologi meliputi suatu kepercayaan dan pengetahuan tentangnya. Ideologi diperlukan agar seseorang mempunyai kesadaran dan sikap khusus dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, posisi kelasnya, dasar sosial, situasi nasional, dunia dan tujuan sejarah seperti halnya tujuan masyarakat sebagai tempat bergantung… Oleh karena itu, ideologi adalah suatu sistem kepercayaan yang menginterpretasikan kondisi sosial, rasionalitas dan orientasi kelas seseorang seperti halnya sistem nilai, orde sosial, format individu ideal, hidup manusia dan situasi sosial dalam berbagai dimensinya . Ideologi menjawab pertanyaan: Apa yang kamu sukai? Apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu harus lakukan? Harus menjadi apa?)[13]

Syari’ati berusaha untuk membedakan antara ideologi, ilmu dan filsafat. Ilmu menurutnya merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang kongkret. Ia merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip, kualitas dan karakteristik di dalam kehidupan manusia, alam dan benda-benda lainnya. Demikian halnya dengan ilmu, dapat didefinisikan sebagai pencarian ke arah pemahaman sesuatu yang bersifat umum, belum diketahui dan tidak terjangkau ilmu. Ia mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran dan substansi, fenomena dan konsep-konsep yang ada dalam alam pikiran manusia.[14] Tentu saja pemahaman Syari’ati tentang ideologi, ilmu dan filsafat berbeda dengan pandangan para penganut aliran postmodernisme dewasa ini. Jürgen Habermas, misalnya, ia menyatakan bahwa antara ideologi, ilmu, dan filsafat (bahasa Habermas: Knowledge, pengetahuan) mempunyai landasan yang sama dalam pengembanganya, yaitu kepentingan (keberpihakan). Walaupun Habermas berbeda dengan Marx yang mengatakan bahwa kepentingan itu adalah pasti kepentingan kelompok atas, Habermas lebih melihat kepentingan itu muncul dari siapa saja (manusia kelompok manapun) yang terlibat dalam pengembangkan sebuah ilmu, filsafat atau ideologi.[15]

Di sisi yang berbeda, ideologi menuntut seorang cendekiawan untuk memihak. Bagi seorang ideolog, ideologinya adalah suatu kepentingan yang mutlak. Setiap ideologi memulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status quo, kritis terhadap masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomi, politik dan moral yang cenderung melawan perubahan-perubahan yang diinginkan. Berbeda dengan filsafat maupun ilmu yang sama sekali tidak mempunyai komitmen seperti itu, ia hanya menggambarkan realitas seperti apa adanya dengan tidak membedakan apakah ia menolak atau menerima realitas tersebut.[16] Inilah perbedaan yang menyolok antara ilmu, filsafat dan ideologi. Dengan kata lain, agar ideologi mampu memposisikan dirinya menjadi landasan perjuangan, maka keberpihakannya harus jelas. Pada wilayah politik, ia harus mengabdi sehingga mampu memberikan doktrin-doktrin politik. Pada kekuasaan politik ia harus bisa menyerang. Inilah sebenarnya, kata Syari’ati, makna sesungguhnya dari ideologi, yang berarti bukan konsep, landasan berfikir, filsafat, apalagi ilmu. Ideologi adalah kata lain dari keberpihakan politik, tegas Syari’ati.

Lebih lanjut Syari’ati mengatakan, baik ilmu maupun filsafat tidak pernah melahirkan revolusi dalam sejarah walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi-ideologi, tegas Syari’ati, yang senantiasa memberikan inspirasi, mengarahkan dan mengoganisir pemberontakan-pemberontakan menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia di berbagai belahan dunia. Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggungjawab, keterlibatan dan komitmen.[17] Ideologi, lanjut Syari’ati, menuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak, arena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan, tanggungjawab dan keterlibatan untuk komitmen. Sejarah mengatakan, revolusi, pemberontakan hanya dapat digerakkan oleh ideologi.[18]

Setelah mengkonstruksi gagasannya tentang ideologi, Syari’ati menegaskan tentang urgensi perubahan yang hanya dapat digerakkan oleh masyarakat yang mempunyai ideologi kokoh. Dalam kondisi keterpurukan untuk konteks Iran, Syari’ati berfikir bahwa Islam harus mampu menjadi penggerak kesadaran masyarakat. Islam perlu lebih dipahami sebagai sebuah pandangan dunia komprehensif, sebuah rencana untuk merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, baik secara perseorangan maupun kolektif, untuk tujuan makhluq secara keseluruhan.[19] Di sinilah letaknya bahwa Islam berfungsi sebagai ideologi pembebasan:

Ia (Islam) akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan melawan kekuasaan tiranik. Ia tidak akan pernah berbaiat (sepakat) dengan kekejaman. Ia akan merancang kontinuitas sejarah berkesinambungan. Ia akan menegaskan perjuangan tak kenal henti antara pewaris Adam dan pewaris setan. Asy-syûra mengingatkan kembali akan ajaran ihwal kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah Islam kriminal dalam jubah “tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah Islam yang tersembunyi dalam jubah merah kesyahidan.[20]

Syari’ati berupaya menegaskan perbedaan Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agama-agama, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantab selama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan menifestasi dari semangat ideal kemanusiaan yang sejati”.[21] Jika Islam dirubah bentuknya dari “madzab ideologi” menjadi sekedar “pengetahuan kultural” dan sekumpulan pengetahuan agama sebagaimana yang dikonsepsikan Durkheim, ia akan kehilangan daya dan kekuatannya untuk melakukan gerakan, komitmen, dan tanggung jawab, serta kesadaran sosial sehingga ia tidak memberi kontribusi apa pun kepada masyarakat.[22]

Untuk mencapai tujuan menggerakkan masyarakat melalui ideologisasi Islam, Syari’ati menempuh beberapa langkah strategis. Syari’ati berupaya untuk melakukan redifinisi Islam dengan menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara detail, berkenaan dengan cara memahami Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu yang berhubungan dengan ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif masyarakat, serta metode atau usulan-usulan praktis untuk mengubah status quo yang tidak memuaskan kehendak masyarakat.[23]

Pada tahap pertama, Syari’ati meletakkan pandangan dunia tauhîd sebagai pandangan dasar. Pendangan ini menyatakan secara langsung bahwa kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar, memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam kategori yang berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti; rohani dan jasmani.[24] Karena itu diskriminasi manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya tidak bisa dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilai-nilai Ketuhanan.

Pada tahap kedua, adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan mental. Bagi Syari’ati, Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami dengan mempelajari al-Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari sejarah Islam sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.[25]

Dengan berpijak pada al-Qur’an, Syari’ati melihat keseluruhan sejarah sebagai sebuah konflik kekuatan-kekuatan, sementara itu manusia sendiri menjadi medan perang antara asal jasmaniahnya yang rendah dan semangat Ketuhanannya. Dialektika sejarah seperti ini sangat mudah diidentifikasi meminjam konsep dialektika sejarah Marxis, meskipun tidak secara keseluruhan.[26] Meskipun demikian, Syari’ati mengklaim bahwa analisisnya mengenai dialektika Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus-menerus adalah pemikiran orisinil dalam konteks pemahaman Islam yang diambil dari intisari beberapa ayat dalam al-Qur’an.

Pada tahap berikutnya, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo. Caranya ialah melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan, langkah-langkah praktis berdasarkan kondisi masyarakat, serta upaya menciptakan perubahan dan kemajuan dalam aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus mengejawantah sebagai suatu amanat yang sedang dihidupkan kembali untuk membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.

Keseluruhan langkah yang dikonstruksi Syari’ati pada intinya akan mengerucut pada satu tujuan, yaitu pembaharuan Islam (protestanism).

To emancipate and guide the people, to give birth to a new love, faith, and dynamism, and to shed light on people’s hearts and minds and make them aware of various elements of ignorance, superstition, cruelty and degeneration in contemporary Islamic societies, an enlightened person should start with “religion.” By that I mean our peculiar religious culture and not the one predominant today. He should begin by an Islamic Protestantism similar to that of Christianity in the Middle Ages, destroying all the degenerating factors which, in the name of Islam, have stymied and stupefied the process of thinking and the fate of the society, and giving birth to new thoughts and new movements. Unlike Christian Protestantism, which was empty-handed and had to justify its liberationist presentation of Jesus, Islamic Protestantism has various sources and elements to draw from.

(Untuk membebaskan dan membimbing rakyat, untuk menciptakan cinta dan keyakinan baru, kedinamisan, dan memberi kesadaran baru ke dalam hati dan pikiran rakyat, serta mengingatkan mereka akan berbagai bahaya yang muncul akibat unsur kebodohan, ketahayulan, kejahatan dan kebobrokan di dalam masyarakat-masyarakat Islam kini, orang tercerahkan harus mulai dengan “agama” – maksud saya kebudayaan agama dan bukan salah satu budaya yang dominan sekarang ini. Ini harus dimulai dengan semacam Protestantisme Islam (pembaharuan Islam) yang mirip dengan Protestantisme Kristen (pembaharuan Kristen) pada Abad Pertengahan, yang menghancurkan seluruh faktor perusak yang, dengan mengatasnamakan Islam, telah menghalangi dan membius proses pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan baru. Tidak seperti Protestantisme Kristen, yang tak punya apa-apa dan harus membenarkan kehadiran Yesus sebagai pembebas, maka Protestanisme Islam mempunyai banyak sumber daya dan unsur yang dapat digunakannya.[27]

Gerakan Protestanisme Islam, menurut Syari’ati akan mengeluarkan energi yang sangat besar dan memungkinkan seorang Muslim yang tercerahkan untuk: pertama, penyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat Islam dan mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan dan gerakan. Kedua, mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi kesadaran akan tanggung jawab sosial. Ketiga, menjembatani kesenjangan yang semakin lebar antara “pulau yang dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan “pantai rakyat kebanyakan” dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan pemahaman di antara mereka, dan dengan demikian menempatkan agama – yang datang untuk membangkitkan dan melahirkan gerakan – untuk kepentingan rakyat. Keempat, mencegah agar senjata agama tidak jatuh kepada mereka yang tidak patut memilikinya dan yang tujuannya adalah memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu memperoleh energi yang diperlukan untuk menggerakkan rakyat.

Kelima, mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang – dengan kembali kepada agama yang hidup, dinamis, kuat dan adil – melumpuhkan agen-agen reaksioner dalam masyarakat, sekaligus menyelamatkan rakyat dari unsur-unsur yang digunakan untuk membius mereka. Keenam, menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan yang merupakan ciri agama biasa, dan menggantinya dengan semangat pemikiran bebas (ijtihâd) yang kritis, revolusioner, dan agresif. Semua ini dapat dicapai melalui gerakan pembaharuan agama yang akan menyaring dan menyuling cadangan energi yang sangat besar di dalam masyarakat, dan akan mencerahkan zaman itu serta membangunkan generasi masa kini. Karena alasan-alasan itulah, Syari’ati berharap, agar orang yang tercerahkan dapat berhasil mencapai kesadaran diri yang progresif.[28]


[1] Azra, “Akar-Akar Ideologis…”, hlm. 70

[2] Nikki R Keddie, Root of Revolution: An Interpretative History of Modern Iran (New Haven: Yale University Press, 1981), hlm. 217.

[3] Azra, “Akar-Akar Ideologis…“, hlm. 70

[4] Lihat Ali Syari’ati, “Islamology”, dalam http://www.shariati.com, diakses tanggal 11 Maret 2006

[5] Ibid.

[6] Ali Syari’ati, Islam Madzab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1982), hlm. 154-155

[7] Lihat Ali Syari’ati, “And Once Again Abu-Dhar”, dalam http://www.iranchamber.com/personalities/ashariati/works/once_again_abu_dhar7.php, diakses tanggal 11 Maret 2006

[8] Lihat Hasan Hanafi, Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb (Kairo: Dâr al-Fanniyah, 1991), hlm. 17

[9] Lihat Azra, “Akar-Akar Ideologis…“, hlm. 71; bandingkan dengan Bryan S. Turner, Runtuhnya Universalitas Sosiologi Barat: Bongkar Wacana Atas Islam Vis a Vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme dan Globalisme (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hlm. 197. Hasan Hanafi mengemukakan hal yang senada dengan Syari’ati bahwa sesungguhnya tantangan terbesar bagi kelompok-kelompok umat sekarang adalah bagaimana mempertahankan identitas tanpa harus terjatuh dalam bahaya isolasi diri, dan bahaya menolak andil orang lain; serta bagaimana menghadapi bahaya pembebekan buta (taqlîd). Lihat Hanafi, Muqaddimah…, hlm. 21

[10] Lihat Supriyadi, Sosialisme Islam…, hlm. 150

[11] Bandingkan apa yang telah didefinisikan oleh Syari’ati tentang ideologi dengan definisi yang diberikan oleh John B. Thompson yang menyatakan bahwa ideologi adalah “sistem berfikir”, “sistem kepercayaan”, “praktik-praktik simbolik” yang berhubungan dengan tindakan sosial politik. Lihat John B. Thompson, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia, terj. Haqqul Yakin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 17

[12] Lihat Ali Syari’ati, “Man and Islam”, dalam http://www.shariati.com, diakses tanggal 11 Maret 2006

[13] Syari’ati, “Islamology”.

[14] Lihat Syari’ati, “Man and Islam”.

[15] Menurut analisa Habermas, ada tiga macam ilmu yang didorong seakan-akan dari dalam oleh tiga kepentingan dasar manusia: ilmu-ilmu empiris-analitis didorong oleh kepentingan teknis, kepentingan untuk memanfaatkan apa yang diketahui, ilmu-ilmu historis-hermeneutis diarahkan oleh kepentingan “praksis” (dalam arti Aristoteles), kepentingan untuk memahami makna. Ilmu-ilmu kritis (filsafat, psikoanalisa) didorong oleh kepentingan mansipatoris, kepentingan untuk membebaskan. Lihat Franz Magnis-Suseno, “75 Tahun Jürgen Hambermas”, dalam Basis, No. 11-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 6

[16] Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais (Jakarta: Srigunting, 2001), cet. II, hlm. 161

[17] Ibid., hlm. 163

[18] Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 81

[19] Prasetyo, Sosiologi Islam…, hlm. 153

[20] Ali Syari’ati, Islam Madzab Pemikiran dan Aksi, terj. Nasrullah dan Afif Muhammad (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 47

[21] Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual…, hlm. 81

[22] Syari’ati, “Islamology”.

[23] Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 160

[24] Syari’ati, On Sociology of Islam, hlm. 82

[25] Ibid., hlm. 83

[26] Menurut Marx, yang menentukan perubahan dan perkembangan masyarakat adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial atau terjadinya kontradiksi dalam masyarakat, dan kelas-kelas sosial merupakan aktor sejarah utama. Jadi yang menentukan jalannya sejarah bukan individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya. Lihat Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 125

[27] Ali Syari’ati, “Where shall we begin?”.

[28] Ibid.

sumber : pemikiranislam.wordpress.com bisa di baca juga di icas-indonesia.org

Kisah Negara (Politik) Tanpa Ideologi

0 komentar

Yang bisa didapatkan dari perkembangan politik di Indonesia, salah satunya, adalah tentang keberadaan ideologi yang mengalami degradasi dari kemajemukan menjadi tiada. Pada periode 1950-an, ideologi merupakan identitas bagi kelompok-kelompok politikus. Soekarno pun menobatkan dirinya sebagai penghulu kemajemukan ideologi dengan slogan nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme). Inilah era keanekaan ideologi, yang diidealkan oleh antropolog Clifford Geertz dalam tiga aliran utama.

Pada masa awal demokrasi di Indonesia, ideologi politik mudah dilihat pada sosok parpol dan politisi. Parpol yang nasionalis, Islamis (Masyumi atau NU), atau komunis dapat dibedakan dengan jelas baik ditinjau dari pemikiran politiknya, norma yang melingkupinya, bahasa dan simbol yang digunakan, maupun kecenderungan elite yang memerintah. Parpol adalah tempat pengaderan terbaik dan ajang indoktrinasi ideologi partai bagi para politisi, kader, dan simpatisan parpol.

Kader partai apakah seorang legislator atau simpatisan biasa mencerminkan ideologi partai baik dalam tindakan maupun pikiran. Sistem multipartai saat itu tidak menghalangi kader partai untuk memahami, mendalami, dan membedakan ideologi antara satu parpol dan parpol lainnya. Bahkan, pada masa Orde Baru, ideologi politik parpol dan politisi masih dapat ditebak. Masing-masing parpol dan kadernya menunjukkan kecenderungan pemikiran dan tindakan sesuai dengan ideologi partai (Golkar dengan kekaryaannya, PPP dengan Islamnya dan PDI dengan nasionalis-Soekarnoisnya).

Pada 1980-an, ideologi yang majemuk itu ditunggalkan oleh Soeharto. Partai-partai politik yang direintegrasi ke dalam tiga wadah hanya boleh berideologi tunggal, yakni Pancasila. Inilah era ketunggalan ideologi yang semakin menegaskan keberadaan tiga tipe aliran politik di Indonesia. Para birokrat menjadi kaum priayi baru. Mereka yang berpolitik dengan sarung menjadi kaum santri. Para nasionalis menjadi kaum abangan.

Pasca reformasi 1998, kemajemukan ideologi mendapatkan kembali ranahnya sebagai identitas partai, baik yang lama maupun yang baru didirikan. Tiap aliran, secara internal, melahirkan varian-varian ideologinya. Namun, apa hendak dikata bila hal itu tidak berkelanjutan menjadi wacana sebagaimana pada era 1950-an. Peluang kemajemukan ideologi diekspresikan dalam bentuk pseudo-ideologi.

Krisis identitas dan tak memiliki ideologi. Itu gambaran umum partai-partai politik di Indonesia dewasa ini. Krisis identitas dan tak adanya ideologi ini membuat arah partai tak jelas dan sulit membedakan partai satu dengan yang lain. Para tokoh dan elite parpol pun tak mampu memberikan contoh panutan yang baik bagi kader dan masyarakat. Mereka lebih sibuk gontok-gontokan dan bagi-bagi kekuasaan ketimbang mengembangkan konsep pemikiran alternatif mengenai bagaimana membenahi persoalan-persoalan bangsa.

Fenomena loncat parpol yang dilakukan para elite dalam perpolitikan kita hampir-hampir telah membuat kita bosan untuk menyimaknya terus-menerus. Seorang politisi, hanya karena tak mendapat jabatan tertentu, bisa mutung lalu pindah partai atau memilih membuat partai politik baru. Pecahnya sejumlah partai, termasuk Partai Kebangkitan Bangsa, adalah akibat dari longgarnya ikatan politik tersebut. Tentu saja, ada banyak politisi yang memberi alasan-alasan gagah atas kepindahan dia dari satu partai ke yang lain, atau atas keputusan mereka mendirikan partai baru. Tapi semua itu sungguh-sungguh hanya kamuflase. Seandainya ada yang mengatakan pecahnya partai politik di Indonesia hari ini adalah karena “alasan ideologis”, hampir semua dari kita akan tersenyum sinis dan membuang muka, sambil ramai-ramai berteriak, “Bohong!”.

Selain krisis identitas, sebagian besar parpol di Indonesia tidak memiliki ideologi. Kalaupun ada, yang disebut ideologi itu tak lebih hanya aksesori, tidak menjadi acuan dalam tingkah laku para elite dan dalam perjuangan politik partai bersangkutan. Dengan demikian, keberadaan ideologi itu hanya simbolis.

Dengan situasi politik tanpa ideologi di kalangan elite, wajar seandainya jika kita bertemu orang-orang awam yang sikap politiknya juga oportunistik dan pragmatis. Kelonggaran afiliasi politik adalah ciri utama sikap politik yang oportunis sekaligus pragmatis. Sikap politik tidak dibentuk oleh kesamaan ideologi atau cara pandang tentang garis besar kebijakan yang harus dilaksanakan, akan tetapi oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang barangkali akan sangat cepat usai.

Kemenangan Partai Demokrat pada Pemilu lalu adalah misal yang membuktikan pada kita bahwa ideologi adalah sesuatu yang tak pernah benar-benar menjadi penting. Sebagaimana dikemukakan sejumlah pakar politik, kemenangan Partai Demokrat tentu saja berakar pada ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono. Partai Demokrat hanya mengambil keuntungan dari status SBY sebagai pendiri partai tersebut dan sebagai presiden.

Partai itu tak pernah benar-benar punya ide besar yang dijual-sesuatu yang juga terjadi pada partai-partai lainnya. Menjual tokoh, tampaknya, tetap menjadi strategi yang diimani banyak partai politik. Ada yang menyebut bahwa gejala semacam ini menunjukkan masyarakat makin cerdas. Tapi bagi saya, hal itu justru menunjukkan kita tak pernah benar-benar berpolitik secara dewasa. Bagaimanapun, tokoh adalah sesuatu yang selalu rawan sebagai sandaran dalam ihwal politik. Sebuah lembaga dengan ideologi yang baik akan menjadi sandaran yang jauh lebih kokoh. Lembaga memungkinkan adanya regenerasi tokoh, sedangkan tokoh tak selalu bisa diharapkan bersikap bajik dan bijak.

Tapi, mau bagaimana lagi, sejarah panjang depolitisasi yang dilakukan Orde Baru-yang dalam banyak hal juga berarti deideologisasi-telah membuat politik kita hampir-hampir steril dari ideologi. Bahkan PKS yang sebenarnya punya ideologi yang jelas dan tegas pun akhirnya tak pernah benar-benar berani menjual dan mengampanyekan ideologinya. Partai itu justru lebih banyak menjual citra positif dan kinerja para kadernya-sesuatu yang sebenarnya hanya merupakan turunan saja dari ideologi mereka.

Tokoh PKS yang juga Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, menyatakan, sesuai UU, semua parpol memperoleh perlakuan sama. Tak ada pembedaan berdasarkan ideologi partai, baik untuk parpol Islam maupun nasionalis. ”Sekarang bukan waktunya lagi mempertentangkan partai berdasarkan asas Pancasila atau Islam,” katanya.

Mau bagaimana lagi, kita bukan hidup di tahun 1955 di mana masyarakat masih sangat ideologis. Pada kala itu, mereka yang ikut kampanye tak pernah dibayar. Justru sebaliknya: rakyat yang datang ke kampanye akan mengisi kotak sumbangan sukarela yang ada di lokasi kampanye. Masa-masa itu tentu sudah lewat. Kini, realitanya, Pemilu kita apakah pemilu legislatif ataupun Pilpres adalah Pemilu tanpa ideologi.

Fakta atas pragmatisme politik di tanah air yang terjadi saat pemilu 2009 dan menjelang Pilpres 2009, sungguh menjadi realitas yang sangat menyedihkan. Ketika parpol hanya mampu dan semarak dalam menampilkan bendera tanpa tindakan politik nyata, kiranya rakyatlah yang mesti mendorong parpol agar kembali pada akar politik substansif. Keberadaan rakyatlah yang mestinya meminta beberapa hal, guna mengingatkan parpol bahwa membangun eksistensi politik bukan melalui bendera.

Pertama, meneguhkan kembali ideologi politik partai. Dalam dunia politik, nilai ideologi dalam politik menjadi sesuatu hal yang sangat penting dan substansial. Harus disadari bersama, bahwa nilai ideologi politik sesungguhnya memberikan gambaran bagi seorang politisi terhadap sebuah konstruksi, format, serta tata kenegaraan yang kelak akan diperjuangkannya. Ideologi harus menjadi dasar formal atas pendirian organisasi kepada setiap diri kader partai, supaya punya pandangan terhadap dunia politik secara matang dan komprehensif.

Ketika seorang politisi tidak memiliki sebuah ideologi politik, maka politik hanya diwarnai dengan transaksi yang sangat jauh dari wacana intelektual. Jika realitas politik “dagang sapi” terus berlanjut, maka medan politik hanya menjadi ajang transaksi kepentingan bagi para politisi tanpa idelogi guna meraih kekuasaan dan mempertahankannya. Artinya, keberadaan ideologi sebuah parpol sesungguhnya merupakan prasyarat utama dan mendasar dalam rangka membingkai sebuah kekuasaan.

Politik tanpa ideologi hanya memberikan ruang gagap bagi kader parpol, tatkala sudah dapat memegang kekuasaan. Oleh sebab itu, sewajarnya bila parpol perlu menanamkan ideologi politik kepada para kadernya, bukan hanya sebatas pada pemasangan bendera. Harapannya, para kader berideologi akan melahirkan sosok yang punya cita-cita politik untuk dijadikan bekal dan arah kebijakan politik sewaktu pegang kekuasaan.

Kedua, membangun eksistensi partai politik melalui kerja-kerja politik. Setelah ideologi partai tertanam dalam kader politik, maka selanjutnya melakukan kerja-kerja politik. Dalam hal ini, para kader politik harus mulai mengimplementasikan ideologi ke dalam praktik berpolitik melalui tahapan pembuatan kebijakan serta melakukan banyak program yang nyata untuk rakyat. Sehingga ada program nyata politik dan bukan hanya sebatas seremonial pengibaran bendera politik yang setinggi-tingginya dan sebanyak-banyaknya.

Ketiga, merealisasikan cita-cita partai politik. Jika mau jujur, cita-cita politik dari partai politik adalah membangun sebuah struktur negara untuk menggerakkan dan menciptakan kebaikan bersama ( common goods ). Dalam hal ini, tatkala kader berpolitik dengan cita-cita, berarti menjadikan kekuasaan tidak lebih sebagai alat semata. Sebab, makna tertinggi dari perwujudan atas cita-cita politik yang justru menjadi tujuan dari aktivitas politik. Bila para politisi memiliki cita-cita politik, maka kelak negara akan punya kerangka dasar dan arah gerak jelas yang mampu menciptakan sebuah perbaikan bersama.

Ideologi, bagi elit gerakan (politik), merupakan sebuah amunisi yang mujarab untuk melakukan gerakan. Dengan ideologi, anggota atau simpatisan dapat digerakkan ke manapun sang pemimpin kehendaki. Dengan ideologi juga, anggota atau simpatisan, yang berada pada level bawah, menerimanya dengan sukarela terhadap penundukan tersebut.

Referensi :

  • Teater Tanpa Ideologi , Otto Syamsuddin Ishak, www.reformasihukum.org
  • Caleg Tanpa Ideologi Politik , Abu Rokhmad, indonesiamemilih.kompas.com
  • Pemilu Tanpa Ideologi, Haris Firdaus, Politikana.com
  • Nalar Post-Ideologis, Firdaus Putra Aditama, mengintip-dunia.blogspot.com
  • Eksistensi politik (tidak) melalui bendera, Bramastia, wawasandigital.com
  • Krisis identitas dan ideologi yang hilang, csis.or.id
  • Hidup Adalah Lelucon Yang Baru Saja Dimulai