Jangan Abaikan Kekerasan Atas Nama Agama



Lima Februari 1994, sedikitnya 68 orang tewas dan 200 lainnya terluka saat sebuah mortir yang diduga berasal dari milisi Serbia menghantam suatu pasar di kota Sarajevo, Bosnia. Sejak konflik Balkan meletus 22 bulan sebelumnya, milisi Serbia terus membombardir kota Sarajevo dengan serangan artileri dan senjata berat.

"Sebagai seorang jurnalis yang bertugas meliput peristiwa, Aku berdoa semoga peristiwa ini tidak terjadi di Indonesia, Aku sangat cinta Indonesia, cinta dengan keberagamannya, dan cinta dengan toletransinya," tulis seorang WNI yang bekerja di Radio Hilversum Belanda lewat surat elektroniknya.

Rupanya Indonesia yang diharapkan dan dibanggakan sang wartawan asal Indonesia itu, ternyata masih harus menerima cobaan dari Tuhan dengan meletusnya berbagai konflik yang berbau SARA. Tak henti-hentinya konflik SARA mendera negeri ini. Mulai dari kerusuhan di Ambon, Pontianak, Singkawang, Mataram dsb. Meski konflik-konflik ini terselesaikan, namun banyak dari kasus-kasus konflik berbau Sara tidak mengungkap siapa dalang dibalik peristiwa tersebut..

Salah satu konflik agama yang terus berlarut dan tidak pernah terseselesaikan adalah Ahmadiyah. Bentrokan antara warga muslim dan Ahmadiyah tidak pernah selesai. Terkesan ada pembiaran yang berlarut-larut dari pemerintah. Sekedar informasi gesekan dan kekerasan terus terjadi, seperti peistiwa penyerangan warga Ahmadiyah di Kuningan, bentrokan di Kecamatan Ciampea, kabupaten Bogor. Diluar Jawa bentrokan juga terjadi di Makassar, dan Nusa Tenggara Barat

Terakhir, bentrokan di Kecamatan Cikeusik yang menewaskan 4 warga Ahmadiyah, Minggu (6/2). Pemerintah mengakui kesulitan mengatasi masalah Ahmadiyah. Menkopolhukan kepada wartawan menyatakan, masalah Ahmadiyah tidak bisa diselesaikan dalam waktu dekat, karena masalah kepercayaan yang tidak mudah untuk mengubahnya. Djoko Suyanto menegaskan prioritas pemerintah adalah mencegah terjadinya kerusuhan, bentrokan antara warga muslim dan Ahmadiyah.

Meski ini tidak menyelesaikan masalah, namun sebagian masyarakat menganggap pemerintah dan negara tidak mampu mencegah terjadinya kekerasan, bahkan ada terkesan membiarkan terjadi kekerasan terhadap Ahmadiyah. Meski sudah dikeluarkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri dan menetapkan Ahmadiyah sebagai ajaran terlarang, namun pengawasan dan pembinaan yang diamanatkan oleh keputusan tersebut urung dilaksanakan. Ahmadiyah tetap menjadi sasaran kemarahan yang memicu bentrokan dengan sebagian warga muslim.

Belum selesai masalah Ahmadiyah, Selang dua hari usai peristiwa Cikeusik, masyarakat dikejutkan lagi dengan terjadinya kerusuhan yang melanda Kota Temanggung, Selasa (8/2). Vonis 5 tahun dari hakim terhadap terdakwa kasus penistaan agama Antonius Richmon Bawengan membuat massa marah, karena menilai tuntutan lima tahun terdakwa penistaan agama terlalu ringan. Mereka yang menginginkan Antonius dituntut mati itu emosi, lalu merusak Gereja Bethel Indonesia, Gereja Pantekosta, dan Gereja Katolik Santo Petrus Paulus. Selain itu, beberapa mobil dan dua truk dalmas Polri juga dirusak. Antonius (58), warga Duren Sawit, Jakarta Timur tertangkap tangan menyebarkan selebaran yang berisi penistaan agama di Jalan Kyai Kemal, Kranggan, Temanggung, 23 Oktober 2010.

Lagi-lagi negara tidak mampu memberikan perlindungan atau absen terhadap kekerasan. Meminjam istilah Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan, kerusuhan yang mengatasnamakan agama terjadi akibat absennya ketegasan negara. Anis khawatir kerusuhan tersebut dapat mengoyak rajutan kebangsaan.

Negara melalui pihak keamanan seharusnya belajar dari kasus-kasus kekerasan agama yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Masyarakat menanti ketegasan dan transparansi hukum, yang tidak mampu mengungkap dalang terjadinya kekerasan. Penangkapan dan vonis yang dijatuhkan hanya sebatas terhadap pelaku kejahatan di lapangan yang cenderung menjadi kambing hitam, tidak menyentuh hingga ke tingkat tokoh dibelakang terjadinya kekerasan.

"Ketika kekerasan yang mengatasnamakan agama, negara tidak tegas dan mendiamkan, ini membuat orang-orang yang berpotensi melakukan kekerasan dengan membawa nama agama berani berbuat. Kita tahu negara mempunyai hak monopoli terhadap kekerasan, kenapa tidak pernah dipakai untuk melindungi rakyat," kata Anies Baswedan.

Dengan terus menerus membiarkan dan tidak tegas terhadap kekerasan, maka kita tinggal menunggu terjadinya kekerasan yang lain dan terus akan berlanjut. Konflik yang dipicu oleh persoalan Ahmadiyah dan peristiwa kerusuhan di Temanggung, Jawa Tengah, bukan saja menjelaskan pudarnya peran pemerintah dan negara dalam membangun rasa aman di tengah masyarakat.

Terjadinya peristiwa kekerasan yang mengatasnamakan agama bisa jadi merupakan gambaran terjadinya krisis kewibawaan pemerintah yang semakin merosot di hadapan rakyat. Pemerintah dinilai cenderung abai dalam mengantisipasi konflik sosial dan membiarkan akar pemicu konflik tidak tersentuh secara benar, termasuk abai dalam mengupayakan penegakan hukum.

Berbagai risiko sosial akan sangat mudah tersulut akibat meluasnya kegamangan dan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Salah satu akar terjadinya konflik sosial di masyarakat terjadi adalah kelemahan Pemerintah dalam mengangkat taraf kehidupan rakyat untuk bisa lebih sejahtera. Pemerintah cenderung menyibukkan diri pada efektivitas pencitraan dan terombang-ambing dalam hiruk-pikuk politik nasional, sehingga kesengsaraan hidup rakyat dapat memuncak sebagai bentuk aksi kerusuhan di mana saja.

Dalam jangka panjang, untuk mencegah terulangnya kasus ini, pemerintah dan DPR harus segera duduk bersama membahas draf rancangan undang-undang kerukunan umat beragama. Tidak bisa hanya mengandalkan pijakan SKB, landasan hukum yang kuat harus dibangun melalui RUU kerukunan umat beragama. Mengungkap aktor dibalik terjadinya kerusuhan secara transparan dan membawanya ke pengadilan, dalam jangka pendek bisa bisa memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Banyak anggota masyarakat yang percaya berbagai kekerasan yang menyulut kerusuhan atas nama agama, ada yang menggerakkan, atau ada yang merekayasa, tinggal apakah aparat keamanan khususnya Polri mampu mengungkapnya. Masyarakat menginginkan trasparansi dalam pengungkapan kasus ini dan tidak hanya kambing hitam yang justru mengaburkan penyebab peristiwa sesungguhnya.


Aribowo Suprayogi
Redaktur Eksekutif Liputan6.com

2 komentar:

{ Pijan Vijan } at: 21 Februari 2011 pukul 16.28 mengatakan...

Betul sekali Mas...abaikan Kekerassan dengan Nama agam...!!!

{ Hairun Azmi } at: 21 Februari 2011 pukul 17.13 mengatakan...

Semuga Allah melindungi kita semua...

236 pulau di Malaysia belum ada nama

Posting Komentar

Hidup Adalah Lelucon Yang Baru Saja Dimulai