This is featured post 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

SEJARAH ISLAM TANPA MISI

0 komentar

“Bisa kita singkirkan gagasan bahwa agama baru itu dibawa ke Asia Tenggara lewat kegiatan dakwah. Kata “Dakwah” itu sendiri menyesatkan. Sampai tahun-tahun terakhir, ajaran-ajaran Nabi tidak pernah disebarkan lewat kegiatan meng-Islamkan orang secara terorganisasi. Pedagang-pedagang dari Gujarat yang datang ke Indonesia pastilah tidak datang dengan tujuan menyebarkan agama mereka. Dalam beberapa kasus, perpindahan agama disebabkan keyakinan, dalam kasus lain disebabkan oleh motif-motif kepentingan tersembunyi dan non-religius”[1].

Paragraf diatas adalah cuplikan dari Buku “Nusantara Sejarah Indonesia” karangan Bernard H.M.Vlekke seorang Ilmuwan Orientalis Belanda yang edisi pertama-nya diterbitkan pada tahun 1943, buku ini diterjemahkan dan dicetak ulang tahun 2008 oleh Grup Gramedia dan Freedom Institute.

Bernard H.M.Vlekke adalah pendukung kuat “teori Gujarat” teori tentang tempat asal Islam di Nusantara yang digagas oleh J.P. Moquette yang melanjutnya gurunya C.Snouck Hurgronje yang menyakatan Islam datang ke Indonesia berasal dari wilayah Malabar dan Coromandel di sekitar abad ke-12 yang berargumen dari “teori batu nisan” . Beberapa sarjana lain yang mendukung teori ini antara lain; R.A. Kern, R.O.Winstedt, J.Gonda dll. Arah dari “teori Gujarat” ini jelas bahwa Sejarah Islam ke Indonesia adalah tanpa misi. Islamisasi Indonesia bukan merupakan proses dakwah yang menjadi misi dari Risalah Nabi Muhammad SAW.

Anehnya teori-teori ini menjadi rujukan bagi sejarawan Indonesia, yang artinya sebuah anomali (kekecualian) yang terjadi terhadap sejarah Islam di Indonesia terhadap sejarah-sejarah Islam lainnya. Bila para Khalifatur Rosul Rasyidiyah mengembangkan dominasi Islam sampai ke wilayah Eropa yaitu Andalusia (Spanyol), maka tidak demikian dengan Indonesia atau Asia Tenggara. Beliau-beliau luput atau tidak care atau masa bodoh dengan umat manusia wilayah Timur yang sebelum Masa Rosululloh SAW telah menjadi jalur sutra perdagangan.

Lalu bagaimanakah dengan misi Risalah bahwa Rosul Muhammad pemimpin seluruh umat manusia? Sebagai mana proklamasi Risalah dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 158.

Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (7:158)

Berdirinya beberapa negara Islam di kepulauan Indonesia-Melayu merupakan satu bukti kuat yang tak bisa terbantahkan. Islam Indonesia telah membentuk institusi politik paling awal pada abad ke 13. Meskipun, institusi politik Islam di beberapa daerah tidak sama. Di Sumatera, ada beberapa diantaranya yang telah mengalami perkembangan dalam abad ke 14 dan 15. Abad ke 16 menjadi saksi munculnya negara-negara Islam baru di medan sejarah terutama di Jawa.

Adanya fakta tersebut menunjukan sejarah Islam di Indonesia tidak sekedar sejarah “teori batu nisan” tetapi sejarah perjuangan penegakan Islam, sejarah membangun peradaban baru peradaban Islam. Tegaknya institusi politik Islam di bumi Nusantara bukan dengan politik “bim sala bim”. Tetapi oleh tekad kuat melaksanakan misi penegakan Islam yang dimulai dengan jalan DAKWAH.

Proyek dakwah, bukan proyek iseng dari para pedagang entah yang datang dari Gujarat, Persia, Cina atau Arab. Mereka adalah para Saudagar juga Ulama. Para Da’i yang mengemban misi Nabi.

Mengenal Filsafat

0 komentar

Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (= tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit, karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.

Filsafat , philosophy, dalam bahasa Inggeris, atau philosophya dalam Yunani mempunyai arti cinta akan kebijaksanaan. Philos (cinta) atau philia (persahabatan, tertarik kepada) dan sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, inteligensi. Dari pengertian tersebut filsafat sebenarnya amat dekat dengan realitas kehidupan kita. Untuk mengerti apa filsafat itu, orang perlu menggunakan akal budinya untuk merenungkan relaitas hidupnya, “apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Akan kemana saya hidup? Tentunya pertanyaan tersebut sejatinya muncul alamiah bila akal budi kita dibiarkan bekerja. Persoalannya, apakah orang atau peminat filsafat sudah membiarkan akal budinya bekerja dengan baik memandang relaitas? Aristoteles menyebut manusia sebagai “binatang berpikir”.

Berbagai pengertian Filsafat

A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentag bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking about thinking.

Beberapa filsuf mengajukan beberapa definifi pokok seperti:

Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas

Upaya untuk melukiskan hakekat realitas akhir dan dasar serta nyata,

Upaya untuk menentukan batas-batas jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya.

Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan

Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang ada katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.

Penulis sendiri mendefinisikan ilmu filsafat sebagai disiplin ilmu yang mencari dan menggeluti segara yang ada sehingga sampai pada suatu kebijaksanaan universal dengan mengunakan akal budi guna merumuskanya secara sistematis, metodis dan dapat dipertanggungjawabkan secara akal budi pula.

Metode Filsafat

Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek forma filsafat adalah ratio yang bertanya. Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.

Pembagian Bidang Ilmu Filsafat

A. Sonny Keraf membedakan ilmu filsafat menjadi 5 cabang besar: (1) metafisika atau ilmu tentang yang ada sebagai ada; (2) epistemologi atau filsafat ilmu pengetahuan; (3) etika atau filsafat moral yang berbicara mengenai baik-buruknya perilaku manusia; (4) logika berbicara mengenai cara berpikir lurus dan tepat; (5) estetika atau filsafat keindahan berbicara tentang seni.

Aristoteles memasukkan ke dalam bidang filsafat: logika, etika, estetika, psikologi, filsafat politik, fisika, dan metafisika. Pembagiannya terhadap bidang-bidang ilmu, mempunyai tiga bagian: ilmu-ilmu teoritis, ilmu-ilmu praktis, dan ilmu-ilmu produktif.

Christian Wolff membagi filsafat menjadi: logika, filsafat pertama, ontologi, teologi, kosmologi, psikologi rasional, etika, dan teori pengetahuan. Disiplin-disiplin ini dibagi menjadi tiga bagian: teoritir, praktis dan kriteriologis.

Dewasa ini, bidang-bidang filsafat diketahui meliputi kebanyakan disiplin yang disebut di atas tadi, meski ada kekecualian, seperti fisika dan psikologi telah mendapat privilesenya sendiri. Filsafat sering dianggap sebagai ilmu politik. Teologi telah digantikan oleh filsafat agama.

Di samping itu, tanggung jawab filsafat terhadap bidang-bidang lain semakin diakui melalui perkembangan filsafat, studi dan kursus interdisipliner. Yang paling penuh perkembangannya adalah filsafat ilmu pengetahuan. Disiplin ini mengandung anataf filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial: filsafat sejarah, filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat pendidikan.

Beberapa Cabang Filsafat

Filsafat Alam

Obyeknya: alam kehidupan dan alam bukan kehidupan. Tujuannya: menjelaskan fenomena alam dari aspek eksistensi fenomena tersebut dan menelusuri syarat-syarat kemungkinan.

Filsafat Analitis

Ilmu memusatkan perhatian pada bahasa dan upaya untuk menganalisis pernyataan (konsep, atau ungkapan kebahasaan aatau bentuk-bentuk logis. Tujuannya ialah untuk menemukan pernyataan-pernyataan yang berbentuk logis dan ringkas dan yang terbaik, yang cocok dengan fakta atau arti yang disajikan.

Filsafat Bahasa Sehari-hari

Paham ini berpandangan bahwa dengan menganalisis bahasa biasa (makna, implikasi, bentuk dan fungsinya) kita dapat memperlihatkan kebenaran mengenai kenyataan. Dengan analisis bahasa biasa kita dapat memahami masalah pokok filsafat dan sekaligus dapat memecahkannya.

Filsafat Gestalt

Salah satu pandangan filsafat ini berpandangan bahwa realitas merupakan dunia tempat organisme fisik memberikan tanggapan dalam proses mengatur struktur-struktur atau keseluruhan yang diamati.

Filsafat Kebudayaan

Filsafat ini memberikan gambaran keseluruhan mengenai gejala kebudayaan (bentuk, nilai dan kreasinya). Tugasnya untuk menyelidiki hakekat kebudayaan, memahaminya berdasarkan sebab-sebab dan kondisi-kondisinya yabg esensial. Filsafat ini juga bertugas untuk menjabarkan pada tujuan-tujuannya yang paling mendasar dan karena itu juga menemukan arah dan luas perkembangan budaya.

Filsafat Kehidupan

Filsafat kehidupan dalam bahasa sehari-hari berarti (1) cara tau pandangan hidup. Dan ini bertujuan mengatur segalanya secara praktis. (2) Etika sebagai ilmu yang berbicara mengenai tujuan dan kaidah-kaidah kehidupan dapat juga disebut sebagai filsafat kehidupan.

Dari pemaparan di atas, ilmu filsafat merupakan ilmu yang lahannya luas dan rumit. Untuk mereka yang berminat pada filsafat, mereka harus mempelajari pengantar-pengantar ke bidang filsafat. Peminat Ilmu filsafat di Indonesia semakin berkembang. Hal ini terlihat berkembangnya peminat filsafat di perguruan tinggi/ sekolah tinggi filsafat baik yang dikelola pemerintah maupun swasta nasional. Semoga informasi ini bermanfaat bagi siapa saja yang mencintai kebijaksanaan.

Sumber: Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, sebuah tinjauan filosofis, Kanisius: Yogyakarta, 2001, Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Gramedia: Jakarta, 2002, STFT Widya Sasana Malang, Diktat Kuliah, 1999, Widya Sasana: Malang

Membangkitkan Kesadaran Sejarah

0 komentar

Merangsang individu untuk memperhatikan sejarah! Itulah tema yang diusung oleh para guru besar, dosen dan mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM dalam unjuk rasa tanggal 25 Agustus lalu di bundaran UGM. Mereka tak rela jika ilmu sejarah disepelekan. Mereka tidak terima ilmu sejarah disebut tak mampu menjawab tantangan persoalan bangsa.

Untuk memberikan tempat yang proporsional pada sejarah, para pengunjuk rasa minta pemerintah tidak menganaktirikan ilmu sejarah. Mereka juga minta agar ilmu sejarah diajarkan kembali di sekolah-sekolah. “Idealnya Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan jasa-jasa para pahlawannya,” ungkap seorang pengunjuk rasa.

Pengunjuk rasa yang lain mengatakan, kalau kita belajar dari sejarah, maka berbagai persoalan bangsa yang terus mendera ini sejatinya tidak perlu terjadi, mulai dari ancaman perpecahan, permusuhan hingga merebaknya berbagai kasus korupsi.

Mungkin masyarakat tidak sengaja ingin melupakan sejarah. Tetapi, banyak faktor yang membuat ilmu sejarah terpinggirkan. Seorang pengunjuk rasa mengatakan salah satu penyebabnya adalah arus globalisasi. “Semangat kebebasan (liberalisme) yang dibawanya telah disembah banyak orang dan seolah memberi harapan akan kemajuan dan kemakmuran. Tanpa sadar warga bangsa pun mulai lupa akan ideologi negeri sendiri, Pancasila. Pancasila seolah berjalan tanpa penghayatan dan pengamalan, sehingga nasionalisme pun menghilang pelan,” tambahnya

Untuk menyelesaikan persoalan itu, kata Ketua Senat Akademik UGM, Prof Dr dr Sutaryo Sp(AK), kesadaran berkebangsaan, berke-Indonesia-an dan bernusantara harus diingatkan kembali. “Tidak hanya mengajarkan kembali ilmu sejarah di sekolah-sekolah, namun yang tak kalah penting adalah pemberian pelajaran ilmu bumi. Dua pelajaran itu mestinya diajarkan secara betul sejak taman kanak-kanak, SD, SMP hingga perguruan tinggi. Karena kelemahan sistim pendidikan sekarang ini adalah pelajaran ilmu sejarah dan ilmu bumi,” ujarnya.

Pak Taryo mengaku bahwa selama ini pelajaran ilmu sejarah dan ilmu bumi telah mencapai titik yang sangat lemah. Kedua ilmu tersebut dianggap tidak mampu lagi membina, memasukkan nilai-nilai bersifat kebangsaan. “Padahal tanpa pelajaran sejarah dan ilmu bumi, rasa nasionalisme tentu akan berkurang. Sehingga saya usulkan ilmu sejarah dan ilmu bumi harus ditanamkan sejak awal. Itu pun tidak harus sejarah yang ndakik-ndakik. Cukup sejarah lokal dulu baru nasional, sehingga akan terbentuk sikap saling menghormati,” tambahnya.

Menggugat perguruan tinggi

Menurut Pak Taryo, peguruan tinggi, sebagai benteng moral tertinggi, secara politis sudah seharusnya mengingatkan bila saat ini terdapat kesalahan umum dalam memberikan kuliah/pelajaran sejarah dan ilmu kebumian. Karena kedua ilmu itu diyakini memiliki andil yang tidak sedikit dalam membentuk karakter bangsa. Tetapi, yang terjadi adalah, keduanya hanya sebatas diajarkan. Keduanya belum menyentuh semua mata pelajaran.

“Untuk menciptakan kepribadian atau mengubah kepribadian yang paling efisien adalah melalui pendidikan. Di luar itu secara nasional dan politis memang ada upaya, namun nampaknya ada pengenceran terhadap rasa nasionalisme,” tambah Pak Taryo.

Pak Taryo menduga, sejak Indonesia merdeka sesungguhnya negara-negara barat merasa tidak senang. Tidak saja Belanda, Inggris, Jepang, tapi meliputi pula ideologi kapitalisme mereka. “Karena sejak awal Indonesia sudah menyatakan anti kapitalisme. Sehingga kapitalisme global itu paling tidak senang, kalau Indonesia ini menjadi negara yang kuat dan berdiri diatas akar-akar budaya sendiri. Kalaupun kemudian rasa nasionalisme saat ini redup, ini menunjukkan manifestasi keberhasilan kapitalisme global untuk meredusir rasa kebangsaan Indonesia,” ungkapnya.

Memperingati hari bersejarah

Sebagai upaya lain, Pak Taryo berharap peringatan-peringatan hari bersejarah di tanah air diadakan kembali. Peringatan ini harus dilakukan oleh sekolah-sekolah, seperti yang dilakukan hingga tahun 1990 an dulu.

“Namun sekarang mulai dilupakan. Padahal untuk pembelajaran sejarah sebenarnya peringatan-peringatan hari bersejarah itu harus diulang. Diulang dan diulang lagi,” harapnya.

Pak Taryo menjelaskan bahwa pelajaran ilmu sejarah untuk murid-murid SD, SMP, SMA jaman dulu mungkin membuat murid bisa merasakan dan menggambarkan bagaimana “ngrekosone” dijajah. Generasi muda sekarang tidak bisa lagi merasakan penderitaan bangsa ini. Mereka tidak bisa menghargai perjuangan para pedahulu mereka. Bukan mustahil mereka tidak bisa memaknai merdeka secara tepat setiap kali peringatan proklamasi tanggal 17 Agustus.

“Itu bedanya. Sehingga rasa ketertindasan kemudian muncul sebagai negara merdeka dengan peluh darah dan air mata itu tidak dirasakan. Dulu kita bisa merasakan betul, karena berbagai peristiwa sejarah selalu diperingati secara berulang-ulang,” ungkap guru besar Fak. Kedokteran UGM ini.

Keprihatinan Pak Taryo bertambah manakala menemukan cerita-cerita kepahlawanan dalam keluarga tergantikan program televisi. Acara-acara TV itu terkadang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pendidikan kebangsaan. “Ini mestinya di sekolahan-sekolahan mulai dengan gambar-gambar pahlawan. Kalau perlu diterangkan gambar siapa itu, perjuangannya apa. Sekarang mungkin masih ada gambar-gambar itu, namun nampaknya gurunya juga tidak tahu itu gambarnya siapa,” jelas pak Taryo sembari tersenyum.

Mencegah erosi nasionalisme

Sebagai universitas perjuangan, UGM mestinya mampu menanggulangi erosi nasionalisme di kalangan generasi muda. Bukankah proses kelahiran UGM sendiri tak dapat dipisahkan dari lahirnya Republik Indonesia?

Kalau kita simak buku Sejarah Lahirnya UGM yang diterbitkan Senat Akademik UGM, salah satu aspek yang membedakan UGM dengan perguruan tinggi lain adalah penerusan perjuangan. Di situ disebutkan bahwa hubungan RI-Kraton-UGM sangat jelas. Semangat perjuangan para pendiri wajib diteruskan untuk menjadi kesadaran perjuangan, dan akhirnya menjadi tindakan yang sesuai dengan cita-cita pendiri UGM: pemikir pejuang, pejuang pemikir (wawancara dan penulisan: Agung; editing: Abrar)

sumber ; ugm.ac.id

Sejarah Lisan Orang Biasa: Sebuah Pengalaman Penelitian

0 komentar

Oleh : Abdul Syukur ; Dosen Sejarah UNJ

Pengantar

Sejarah lisan sebenarnya telah lama dikenal oleh umat manusia di seluruh dunia karena lisan adalah alat komunikasi utama yang digunakan untuk mewarisi pengetahuan masa lalu kepada generasi selanjutnya. Fungsi lisan ini tergantikan oleh tulisan setelah umat manusia menuliskan pengetahuan masa lalunya pada tulang, batu, kulit binatang, pelepah pohon, kertas dan media lainnya. Di dalam ilmu sejarah, muncul penilaian bahwa sumber tertulis lebih obyektif, lebih akurat, lebih otentik, dan lebih dapat dipercaya kebenarannya daripada sumber lisan. Alasannya, karena sumber tulisan bersifat tetap dari mulai ditulis hingga ditemukan dan dipergunakan oleh para sejarawan untuk melakukan rekonstruksi masa lalu. Sebaliknya sumber lisan bersifat tidak tetap akibat adanya penambahan atau pengurangan informasi sehingga justeru dapat menyesatkan kerja para sejarawan. Paradigma ini menimbulkan kepercayaan yang berlebihan terhadap sumber tertulis. Tanpa disadari pekerjaan sejarawan identik dengan mengumpulkan, menyeleksi, dan menafsirkan sumber-sumber tertulis menjadi sebuah rekonstruksi masa lalu. Agaknya sebagian besar sejarawan sempat bersepakat dengan pemikiran Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbone, Paris-Perancis bahwa tidak ada yang bisa menggantikan fungsi sumber tertulis untuk melakukan rekontsruksi masa lalu. Secara demonstratif kedua sejarawan ini mempopulerkan adagium n o d o cume n ts, n o hi sto ry (tidak ada sumber tertulis, tidak ada sejarah).

Pemikiran dan adagium yang memuja sumber tertulis tersebut digugat oleh para sejarawan Amerika. Mereka menyadari bahwa sebagian besar masa lampuanya tidak ada dalam catatan-catatan tertulis, sehingga timbul usaha untuk merekam pengalaman para orang tua dalam membangun wilayah Amerika.

Dari sinilah cikal bakal kelahiran kembali sejarah lisan yang dimulai tahun 1930 dan 18 tahun kemudian (1948) berdirilah pusat sejarah lisan di Universitas Columbia, New York. Selanjutnya menyusul pendirian pusat sejarah lisan di beberapa negara seperti Kanada, Inggris, dan Italia.

Sejarah Lisan di Indonesia

Pengakuan kembali terhadap sejarah lisan juga bergaung ke Indonesia, meskipun terlambat 34 tahun, yakni dimulai pada tahun 1964 oleh sejarawan dari Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto dengan proyek Monumen Nasionalnya yang mengumpulkan data-data sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950.

Kerja sejarah lisannya lalu dipusatkan pada keberhasilan para perwira TNI Angkatan Darat menggagalkan kudeta Gerakan 30 September 1965 sebagaimana terlihat dalam karyanya, “40 Hari Kegagalan G-30-S”. Sejak tahun itu Notosusanto memfokuskan kerja sejarah lisannya pada upaya menulis riwayat hidup para tokoh militer atau tentang sejarah militer Indonesia.

Sejarah lisan semakin kokoh di Indonesia terutama setelah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) melaksanakan proyek sejarah lisan. Penanggung jawabnya adalah Soemartini, Kepala ANRI periode 1971-1991. Ia dibantu tim Panitia Pengarah Sejarah Lisan dengan ketua Harsja W. Bachtiar, seorang guru besar sosiologi dan sejarah perkembangan masyarakat pada Universitas Indonesia. Panitia Pengarah beranggotakan empat sejarawan, yaitu Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, Abdurrachman Surjomihardjo, dan A.B. Lapian. Pada saat itu Kartodirdjo sudah berpredikat sebagai guru besar sejarah pada Universitas Gajah Mada, Jogjakarta.

Meski Notosusanto merupakan perintis sejarah lisan di Indonesia, namun yang paling berjasa menyebarluaskan perkembangan sejarah lisan di Indonesia adalah Soemartini dan Harsja Bachtiar. Ini terjadi karena keduanya banyak melibatkan sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan memberikan pelatihan dan membentuk pusat sejarah lisan di beberapa daerah antara bulan Juni hingga Desember 1981.

Hasilnya adalah 9 kelompok sejarah lisan daerah, yaitu Medan (Sumatera Utara), Pekanbaru (Riau), Palembang (Sumatera Selatan), Jakarta, Bandung (Jawa Barat), Jogjakarta, Banjarmasin (Kalimantan), Ujung Pandang (sekarang Makasar, Sulawesi Selatan), dan Menado (Sulawesi Utara). Perwakilan dari masing- masing kelompok sejarah lisan daerah inilah yang diundang pada acara Lokakarya Sejarah Lisan ANRI pada tanggal 14-17 Juni 1982 di Jakarta.

Sejumlah kursus singkat seputar sejarah lisan diadakan misalnya oleh Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jogjakarta bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada pada tahun 1988 dan 1990 serta MSI Cabang Sulawesi Selatan dengan Fakultas Sastra Universitas Hasanudin pada tahun 1990. Peserta kursus singkat ini terdiri dari para sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Meningkatnya minat sejarawan Indonesia terhadap penelitian sejarah lisan mendorong pihak ANRI pada tahun 1992 untuk membentuk divisi khusus yang menangani sejarah lisan, yaitu Sub Bidang Sejarah Lisan. ANRI melalui Proyek Sejarah Lisannya mempunyai peranan sebagai motor penggerak dalam mengembangkan sejarah lisan di Indonesia yang telah dirintis oleh Nugroho Notosusanto dengan proyek Monumen Nasionalnya. Dalam kurun waktu 1964-1992, sejarah lisan di Indonesia telah mengalami masa pasang surut. Tahun 1964 – 1975 merupakan era pertumbuhan awal yang dipelopori oleh dua lembaga pemerintah, yakni Pusat Sejarah ABRI yang dipimpin Nugoroho Notosusanto dan ANRI yang dipimpin Soemartini. Namun para sejarawan Indonesia lebih mendukung Proyek Sejarah Lisan ANRI daripada yang dikembangkan oleh Pusjarah ABRI. Oleh karena itu cukup penting menyimak hasil laporan Panitia Pengarah Proyek Sejarah Lisan ANRI pada konferensi Sarbica di Kuala Lumpur, Malaysia, 16-21 Juli 1990 yang menyebutkan dua periode program sejarah lisan, yaitu 1973-1979 dan 1980-1990.

Selama periode 1973-1979 menghasilkan 313 kaset rekaman wawancara dengan 121 pengkisah (istilah yang perlu dipertimbangkan kembali) dari 21 kota oleh 31 pewawancara. Dalam periode ini terjadi peningkatan jumlah kaset rekaman wawancara dan pengkisah yang cukup signifikan pada tahun 1976, yakni 103 kaset rekaman wawancara dengan 56 pengkisah. Jumlahnya menurun drastis pada tahun 1979 karena hanya mampu melakukan wawancara kepada 6 pengkisah yang tersimpan dalam 23 kaset rekaman wawancara. Kegairahan program sejarah lisan meningkat kembali pada periode 1980-1990, terutama untuk tahun 1982 dan 1983 yang berhasil menghimpun 637 kaset rekaman wawancara dari 214 pengkisah dari 12 kota oleh 62 pewawancara. Setelah itu terjani penurunan. Pada tahun 1989 tercatat 197 kaset rekaman wawancara dari 48 pengkisah dari 2 kota oleh 13 pewawancara. Agaknya sejarah lisan di Indonesia telah mengalami ‘orgasme’ pada tahun 1982-1983. Setelah itu, segera memasuki era kelesuan sebagaimana terlihat dalam tabel dibawah ini.

Sejarah Lisan Orang Biasa

Kelesuan sejarah lisan di Indonesia pernah juga terjadi antara tahun 1977-1981 sebagaimana dilaporkan redaksi Lembaran Berita Sejarah Lisan pada edisi nomor 8 bulan Maret 1982, “Panitia Pengarah Sejarah Lisan Arsip Nasional R.I telah memulai lagi berbagai kegiatannya. Mungkin karena sudah begitu lama terhenti seolah-olah kegiatan sekarang ini seperti mulai dari bawah lagi.” Memasuki tahun 1990-an, sejarah lisan di Indonesia juga seperti mulai dari bawah lagi karena bergantinya model, yakni dari sejarah lisan para tokoh menjadi sejarah lisan orang biasa.

Berbeda dengan Amerika, sejarah lisan di Indonesia tumbuh dengan kesadaran untuk menyimpan pengalaman para tokoh yang mempunyai peranan besar dalam perjuangan mendirikan dan membangun negara RI. Sebagian sejarawan, terutama dari Universita Gajah Mada di Yogjakarta sejak awal mengkritisi kecenderungan tersebut sebagaimana diungkap oleh anggota Panitia Pengarah Sejarah Lisan ANRI, Abdurrahman Surjomihardjo dalam pengarahannya pada pertemuan sejarah lisan sub kegiatan Palembang, Sumatera Selatan, “Salah seorang sejarawan dari Yogya mengamati selama 20 tahun ini sejarah kita terlalu berorientasi kepada elite, kepada pemimpin-pemimpin, yang kemudian dianggap pahlawan.”

tahun 1991, redaksi Lembaran Berita Sejarah Lisan akhirnya menurunkan tiga tulisan sejarawan dari UGM yang menganjurkan perlunya sejarah lisan orang biasa.

Gayung pun bersambut sehingga terjadi penguatan kesadaran perlunya merekonstruksi peristiwa masa lalu berdasarkan penuturan orang- orang biasa yang selama ini terabaikan dalam penulisan sejarah Indonesia. Perkembangan sejarah lisan orang biasa dipercepat setelah kehancuran pemerintahan Orde Baru “daripada” Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Sebagaimana diketahui bahwa Orde Baru telah menggunakan sejarah untuk memperkuat legitimasi kekuasaan. Akibatnya muncul gerakan penolakan terhadap seluruh rekonstruksi masa lalu yang dibuat selama Orde Baru.

Gerakan ini lebih populer dengan nama pelurusan sejarah. Pelopornya adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka berusaha membeberkan kejahatan-kejahatan HAM pada masa lalu dengan menjadikan Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S 1965) sebagai titik pusatnya. Kasus ini bagaikan membuka kotak pandora terhadap berbagai misteri sejarah Indonesia lainnya. Salah satu contoh terbaiknya adalah buku T ah u n Ya n g T ak Pe rn ah Bera kh ir yang ditulis John Rossa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid. mewawancarai 260 bekas tahanan politik G30S 1965. Buku ini menggunakan metode sejarah lisan orang biasa dengan Buku ini merupakan hasil kerja Instutut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI),

Melacak dan Membujuk

Sebelum ISSI berdiri, penulis telah melakukan penelitian sejarah lisan orang biasa. Penelitian dilakukan pada tahun 1999 dan 2000 dengan mewawancarai 26 orang yang mengalami, menyaksi dan mengetahui Peristiwa Lampung 1989, yakni sebuah operasi penghancuran oleh pemerintah Orde Baru pada 7 Februari 1989 terhadap kelompok pengajian di Cihideung yang masuk Dukun Talangsari, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah, Propinsi Lampung. Oleh karena itu peristiwa ini juga dikenal sebagai Peristiwa Talangsari, sesuai nama dusunnya.

Sebagian besar dari mereka meninggal dunia pada saat kejadian, dan lainnya dipenjerakan. Sepuluh tahun kemudian (1999) mereka dibebaskan setelah Presiden B.J. Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto pada tahun 1998 memberikan amnesti umum kepada seluruh tahanan politik. Kesulitan pertama yang dihadapi penulis adalah tidak adanya informasi tentang lokasi keberadaan mereka. Satu-satunya yang diketahui penulis adalah alamat Riyanto di sekitar terminal bus Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dia menulis surat pembaca di majalah Sabili edisi tahun 1999. Namun, ternyata alamat yang tertera adalah alamat lama. Para tetangganya — termasuk saudaranya Riyanto– tidak mengetahui tempat tinggal Riyanto yang baru setelah bebas dari penjara. Namun saudaranya bersedia membantu penulis untuk menyampaikan surat permohonan wawancara.

Oleh karena itu penulis menitipkan surat permohonan wawancara dengan menyertakan nomor telepon penulis kepada saudaranya Riyanto. Sambil menunggu kabar dari Riyanto, penulis melacak alamat yang lainnya. Beruntung sekali sebagian dari mereka secara rutin mendatangi kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta. Mereka didampingi para aktivis KontraS mengadukan pelanggaran HAM yang dialaminya pada tahun 1989 kepada Komnas HAM. Oleh karena itu penulis mengirim surat permohonan wawancara melalui pengurus KontraS. Permohonan diterima sehingga penulis dapat mewawancarai Azwar Kaili, Suparmo, Wahidin, Fauzi Isman, dan Sukardi.

Dari mereka penulis memperoleh sejumlah nama lainnya. Ternyata bekas tahanan politik Peristiwa Lampung terbelah menjadi dua kelompok. Ironi terjadi karena kawan menjadi lawan. Pertentangan di antara mereka bersumber pada sikap mereka terhadap tawaran islah (damai) dari Letjen (Purn) Hendropriyono, mantan Komandan Resort Militer Garuda Hitam yang menjadi penanggungjawab pertahanan dan keamanan di seluruh Lampung. Ditengarai bahwa Hendropriyono mempunyai peranan menentukan dalam menghancurkan kelompok pengajian di Cihideung pada 7 Februari 1989. Penulis sendiri kurang tertarik meneliti peranannya. Penulis lebih tertarik pada latar belakang sosial, budaya, ekonomi dan politik orang- orang yang terlibat Peristiwa Lampung 1989. Dari mana asal mereka? Mengapa tidak ada satupun organisasi Islam di Indonesia yang mengakuinya? Mengapa mereka berkumpul di Cihideung? Apa yang mereka lakukan di sana? Benarkah mereka sedang mempersiapkan pendirian sebuah negara Islam sebagaimana tuduhan pemerintah Orde Baru? Jadi penulis tidak menanyakan keputusan mereka untuk menerima atau menolak islah dengan Hendropriyono.

Oleh karena itu kedua belah pihak menerima permohonan wawancara yang penulis ajukan. KontraS menjadi pintu masuk penulis untuk mewawancarai kelompok yang menolak islah. Untuk masuk ke dalam lingkaran kelompok yang menerima islah, penulis menghubungi Hendropriyono dan pimpinan Gerakan Islam Nasional (GIN) Sudarsono yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kelompok pengajian Cihideung. Meski Hendropriyono tidak bersedia diwawancarai, tetapi dia mengizinkan kelompok penerima islah untuk diwawancarai penulis. Seluruh wawancara dilakukan di Jakarta pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Waktu dan tempat ditentukan oleh orang yang akan diwawancarai. Mereka paling sering memilih mesjid dan waktu wawancara menjelang sholat duhur (siang hari).

Wawancara biasanya berlangsung hingga menjelang sholat maghrib (senja hari). Lokasi wawancara selalu berpindah-pindahi. Dalam arti bahwa mereka tidak pernah menggunakan lokasi yang sama untuk beberapa kali wawancara. Ada sejumlah kesulitan yang dialami penulis selama melakukan penelitian sejarah lisan orang biasa, yaitu melacak alamat sebagaimana telah diuraikan dan membujuk mereka agar bersedia diwawancarai. Tidak semua orang bersedia diwawancarai dengan berbagai pertimbangan yang bersifat pribadi, misalnya mantan istrinya Fauzi Isman yang bekerja di Badan Pusat Statistik (BPS) karena khawatir akan merusak kehidupan barunya.

Jadi, penulis sebenarnya tidak sepenuhnya berhasil pada tahap membujuk, meski yang menolak hanya sebagian kecil, yakni 3 orang. Penulis membutuhkan beberapa kali pertemuan dengan calon orang yang akan diwawancarai untuk menyakinkan betapa penting mereka dalam memahami Peristiwa Lampung 1989.

Secara umum penulis memerlukan waktu tiga bulan pada tahap membujuk para calon orang yang akan diwawancarai. Mereka yang semula tertutup menjadi sangat terbuka. Dari pengalaman ini, penulis berkesimpulan bahwa seorang peneliti sejarah lisan harus mampu menciptakan suasana kekeluargaan yang wajar hingga tidak lagi dipandang sebagai orang lain. Penulis sendiri tidak selamanya berhasil dalam menciptakan suasana kekeluargaan yang wajar tersebut. Selalu saja ada kegagalan akibat hal-hal yang di luar dugaan. Dalam pertemuan pertama, penulis tidak langsung mengadakan wawancara, meskipun telah berhasil menciptakan keakraban. Menunda wawancara ternyata memberikan keuntungan tersendiri, yakni menumbuhkan kepercayaan mereka terhadap penulis.

Menurut penulis bahwa peneliti sejarah lisan harus menempatkan diri sebagai pendengar yang baik, bukan teman diskusi apalagi bertindak sebagai pemberi nasehat. Mereka akan bertambah semangat apabila kita mendengarkannya dengan penuh perhatian. Ada hal penting lain yang perlu diperhatikan, yakni jangan pernah melakukan bantahan terhadap informasi yang diterima atau mengkonfrontasikan dengan informasi dari orang lain. Jika ini dilakukan maka orang bersangkutan tidak lagi bersemangat memberikan informasi atau bahkan tidak bersedia melanjutkan wawancara. Oleh karena itu penulis memilih metode wawancara indivual daripada wawancara simultan.

Melalui wawancara individual itulah penulis dapat menjaga konsistensi semangat mereka menuturkan kisah hidupnya hingga terlibat Peristiwa Lampung 1989.

Mengalami, Menyaksikan dan Mengetahui

Pada awal tulisan ini sudah dijelaskan bahwa sejarah lisan muncul lagi pertama kali di Amerika yang berkebudayaan Inggris. Oleh karena itu banyak istilah padanan kata atau terjemahan dari bahasa Inggris, seperti o ral h ist ory (sejarah lisan), i n te rvie w (wawancara), i n te rvie w er (pewawancara) dan i nt ervi e we e (pengkisah). Di antara istilah ini yang cukup menarik diperhatikan adalah pengkisah. Berasal dari kata dasar kisah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kisah mengandung arti cerita tentang kejadian atau riwayat dalam kehidupan seseorang. Kata turunannya adalah me n g isa h kan , t erki sah , kisa h a n, dan pengisahan .

Tidak disebutkan tentang turunan kata pengkisah. Jadi pengkisah merupakan hasil kreasi dari Panitia Pengarah. Hal ini terjadi karena di berbedanya variasi turunan kata i n te rvie w (i nt ervi e we r dan i nt ervi e we e ) dengan wawancara (berwawancara, mewawancarai, dan pewawancara). Jadi tidak ada padanan turunan kata wawancara yang tepat untuk menggantikan i nt ervi e we e . Sebenarnya pembentukan kata pengkisah sendiri menyalahi kelaziman dalam bahasa Indonesia. Seharusnya bukan pengkisah tapi pengisah mengikuti pembentukan kata pelaku dalam kata kirim (pengirim) dan kumpul (pengumpul).

Namun dalam makalah ini yang paling menarik adalah pengertian difinisi pengkisah, yaitu orang yang mengisahkan pengalamannya sendiri atau ingatan dari yang mengalaminya. Berdasarkan difinisi ini maka pengalaman atau ingatan orang lain harus ditolak. Menurut penulis cakupan difinisi pengkisah terlalu sempit dan akan menyulitkan dalam melakukan rekonstruksi masa lalu melalui metode sejarah lisan.

Karena setiap pengkisah sesungguhnya mempunyai tiga bentuk kisah, yaitu kisah yang dialaminya sendiri, kisah yang disaksikan, dan kisah yang diketahuinya. Sudah menjadi tugas peneliti untuk menyeleksi kisah tersebut menjadi kisah yang dialami, disaksikan atau diketahui oleh seorang pengkisah. Sebagai contoh dalam Peristiwa Lampung. Untuk merekonstruksi peristiwa 7 Februari 1989 penulis susun berdasarkan hasil wawancara dari orang yang mengalami (Arifin bin Karyan), orang yang menyaksikan (Fadilah dan Riyanto) dan orang yang mengetahui (Nur Hidayat dan Sudarsono). Pemanfaatan kisah dari orang yang menyaksikan dan mengetahui juga sangat membantu penulis dalam menelusi latar belakang pimpinan maupun anggota kelompok-kelompok pengajian yang terlibat Peristiwa Lampung 1989.

Kesimpulan

Perintis sejarah lisan di Indonesia adalah Nugroho Notosusanto yang kemudian memimpin Pusjarah ABRI. Namun Panitia Pengarah Proyek Sejarah Lisan ANRI yang menjadi motor penggerak pengembangan sejarah lisan di Indonesia. Keduanya (Pusjarah ABRI dan ANRI) sama-sama mengembankan sejarah lisan para tokoh yang dianggap mempunyai peranan menentukan dalam pembentukan negara Republik Indonesia. Tahun 1990 menandai perkembangan baru sejarah lisan di Indonesia, yaitu munculnya perhatian terhadap sejarah lisan orang biasa yang terutama dipelopori para sejarawan dari UGM Yogyakarta. Perkembangan sejarah lisan orang biasa cukup memukau setelah kehancuran pemerintahan Orde Baru d a rip a d a Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Pihak lain di luar komunitas sejarawan yang juga berjasa dalam mengembangkan sejarah lisan orang biasa di Indonesia adalah para aktivis LSM yang memperjuangkan penegakan HAM.

Tujuan sejarah lisan bukanlah untuk melengkapi kekurangan data tertulis sebagaimana yang dikerjakan oleh Proyek Sejarah Lisan ANRI. Rekonstruksi masa lalu dapat dilakukan melalui sejarah lisan, meskipun tidak ada data tertulis sebagaimana penulis alami dalam merekonstruksi Peristiwa Lampung 1989. Di sini data tertulis justeru berperan sebagai pelengkap dari data lisan yang penulis kumpulkan. Secara garis besar, data lisan dapat dipisahkan menjadi tiga bentuk, yaitu kisah yang dialami, kisah yang disaksikan, dan kisah yang diketahui. Ketiga bentuk kisah ini dapat berasal dari satu pengkisah. Untuk itu peneliti sejarah lisan harus melakukan penyeleksian kisah tersebut sebelum merangkaikannya menjadi sebuah kisah yang utuh terhadap satu tema penelitian.

Prediksi Sejarah

0 komentar

Prediksi dalam sejarah (history of future), bisa diartikan sebagai pembuatan proyeksi ke depan atau ke masa depan. Hal ini dianggap sangat perlu, karena tanpa pandangan atau proyeksi ke depan tadi, sejarah serupa seseorang yang meloncat dalam gelap, yaitu melangkah tanpa arah pasti.

Hanya saja, seperti disebutkan Kuntowijoyo, prediksi dalam sejarah bukanlah tugas pokok sejarawan, tetapi yang menjadi tugas utama sejarawan adalah merekonstruksi masa lampau. Menurut sejarawan dan budayawan muslim ini, tentang prediksi itu, awal kali muncul, yang ada hanya ramalan (prediksi cuaca), ramalan bisnis dan ramalan statistic. Akan tetapi kalaupun sejarawan mau membuat prediksi dalam sejarah, yaitu berbicara tentang masa depan, ia harus ekstra hati-hati. Sebab, sejarah tidak memiliki fakta untuk itu. Prediksi sejarah menurut Kuntowijoyo, hanya ekstrapolasi, atau pemikiran berdasarkan historical trend.

Tidak jauh berbeda dengan Kuntowijoyo, untuk melakukan prediksi histories ini, Louis Gottschalk, menawarkan langkah operasional lebih kongkrit dan dianggap dapat membantu ahli sejarah. Pertama, operasional pemikiran dengan penuh hati-hati sejarawan melakukan prediksi-prediksi sendiri. Kedua, operasional dengan membuat analogi sejarah atau mengqiyaskan dengan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, serta dengan mengusut trend-trend sejarah.

Perlu dibedakan antara ramalan atau prediksi dalam sejarah dengan prediksi dalam politik atau sosiologi. Dalam politik dan sosiologi, prediksi cenderung didasarkan pada fenomena social, dan ramalan dalam bidang ini diperlukan sebagai antisipasi-antisipasi ke depan agar terindar dari kebijakan-kebijakan keliru dan bahaya. Akan tetapi prediksi dalam sejarah harus dilandaskan pada data masa lalu itu sendiri. Dengan peristiwa masa lalu itulah, prediksi kecenderungan masa depan diprioritaskan secara optimal.

Kekuatan-Kekuatan Sejarah

0 komentar

Upaya Memahami Sejarah

mewarnai sejarah

Orang yang sedang memancing di pinggir sungai dan senar pancingnya dibawa arus, pasti berpikir bahwa air di tempat itu deras, lalu ia berpindah tempat, sesuai dengan naluri pemancingannya. Akan tetapi, yang sering dilupakannya ialah air itu menjadi deras karena tanahnya terlalu miring. Bahkan ia lupa bahwa air itu mengalir ke bawah, karena tanah di bawah sungai itu menurun.

Demikian juga kalau kita sedang menunggu Angkutan Kota di pinggir jalan, kita hanya melihat bahwa mobil-mobil hilir mudik. Yang kita lupakan ialah jalan itu berhubungan dengan jalan lain terus-menerus dan membentuk jaringan. Tanah miring yang menggerakan air sungai diatasnya dan jaringan jalan tempat Angkutan Kota dan mobil-mobil hilir mudik itu adalah kekuatan-kekuatan sejarah yang menggerakan tetapi luput dari pandangan karena letaknya yang tersembunyi atau terlalu abstrak untuk di bayangkan.

Demikianlah, orang hanya mengenal peristiwa-peristiwa di permukaan, tetapi tidak mengetahui apa yang memungkinkan peristiwa itu terjadi.

Carl G.Gustavson dalam A Preface of History mengidentifikasi enam kekauatan sejarah, yaitu (1) ekonomi, (2) agama, (3) institusi (terutama politik), (4) teknologi, (5) ideology, dan (6) militer. Kita masih dapat menambahkannya : (1) individu, (2) seks, (3) umur, (4) golongan, (5) etnis dan ras, (6) mitos dan (7) budaya.

Ekonomi sebagai kekautan sejarah.

Dari sejarah dunia kita belajar bahwa terciptanya Jalan Sutera dari Tiongkok ke Eropa ialah karena kepentingan ekonomi. Eksplorasi Eropa ke dunia Timur sebagian besar karena alas an ekonomi. Kedatangan orang-orang Eropa di Amerika bagian selatan, perdagangan perbudakan, dan kedatangan para pengejar “ American Dream” karena alas an itu pula.

Barangkali karena alas an ekonomilah Trunojoyo menyerang Mataram; Madura selalu bersaing dengan Jawa; dank arena blockade Belanda telah menghentikan arus ekonomi dari Jawa ke Madura, terpaksalah sebagian elit politik Madura menerima pembentukan Negara Madura sesudah Proklamasi 1945.

Agama sebagai kekuatan sejarah.

Munculnya agama Kristen, masuknya Kristen ke Eropa, dan terbentuknya Zaman Pertengahan di Eropa sebagian besar dapat dijelaskan dengan agama. Demikian juga gerakan Kontra-Reformasi.

Pada zaman pergerakan nasional, gerakan yang khusus keagamaan diantaranya ialah Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul Ulama (1926). Muhammadiyah adalah gerakan “amar ma’ruf nahi munkar” yang berusaha kembali kepada sumbernya yaitu al-Qur’an dan Hadist. Karena itu ia harus menghadapi budaya Jawa yang dianggap penuh kurafat dan ajaran Islam yang ada dianggap penuh bid’ah.

Reaksi terhadap Muhammadiyah yang antimazhab dan Syarekat Islam yang penuh politik, lahirlah Nahdlatul Ulama yang menegaskan kembali pentingnya mazhab yang jumlahnya empat (Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi) dan sebuah gerakan agama yang non politik.

Institusi sebagai kekuatan sejarah.

Sejak zaman klasik, Yunani selalu bermusuhan dengan Sparta dan Persia karena perbedaan institusi. Yunani selalu digambarkan sebagai sebuah Republik yang demokratis sementara Sparta dan Persia adalah tirani.

Dalam sejarah Indonesia, institusi, terutama Negara juga merupakan kekuatan yang menggerakan sejarah.

Yang akan menulis sejarah politik, mungkin puas dengan melihat institusi politik. Akan tetapi, bagi penulis sejarah social atau sejarah ekonomi dapat melihat kekuatan sejarah di belakang institusi. Sejarah itu bisa berlapis-lapis.

Ideologi sebagai kekuatan sejarah.

Gerakan Nasionalisme merupakan ideology yang melahirkan banyak lembaga politik. Sebagai gerakan yang dipengaruhi oleh romantisme, nasionalisme juga juga mempunyai pengaruh dalam kesusastraan. Poedjangga Baroe yang didefinisikan seni sebagai gerakan sukma, terbagi ke dalam dua kubu. Kubu pertama melihat Indonesia lebih sebagai Timur dan kubu kedua yang lebih memilih Barat sebagai model.

Militer sebagai kekuatan sejarah.

Selain bangsa Belanda, pada zaman Belanda diangkat orang-orang Indonesia sebagai tentara. Para raja pribumi juga diwajibkan untuk membentuk pasukan. Demikianlah, misalkan, Barisan Madura dipakai Belanda untuk memadamkan Perang Aceh. Dalam Perang Dipenogoro peran serdadu Belanda tidak terpisahkan dari penyelesaian perang. Mereka lebih professional dari tentara Dipenogoro yang kebanyakan pasti direkrut dari penduduk.

Dan masih banyak lagi komponen lainnya yang menjadi kekuatan sejarah. Kekuatan sejarah itu berjalan seperti api dalam sekam. Kita mengira politik itu menentukan, sehingga kita membayar mahal untuk pesta demokrasi, untuk memegang kekuasaan dan kemenangan. Kita tidak tahu bahwa politik itu hanya sepersekian dari kekuatan sejarah. Kadang kekuatan-kekuatan sejarah itu berjalan sendiri, kadang-kadang terjadi secara bersamaan. SEBUAH REVOLUSI TERJADI BILA KEKUATAN-KEKUATAN SEJARAH BERGABUNG.

Sumber ; BUKU “ Pengantar Ilmu Sejarah”, Kuntowijoyo,

PENJELASAN SEJARAH (Historical Explanation)

0 komentar

Sebuah resume untuk belajar memahami sejarah

buku-penjelasan-sejarah

Apakah penjelasan sejarah (historical explanation) itu ? Penjelasan sejarah ialah usaha membuat satu unit sejarah intelligible (dimengerti secara cerdas). Mengapa sekedar “penjelasan” bukan “analisis” yang meyakinkan dan pasti? Kata “analisis” memang juga dipakai bergantian dengan “penjelasan”, diantaranya oleh Marc Bloch, terutama ketika orang menganalisis hubungan kausal antar gejala sejarah. Akan tetapi, karena kata “penjelasan” lebih sesuai untuk sejarah pada umumnya, sedangkan kata “analisis” tidak sepenuhnya sesuai dengan hakikat ilmu sejarah, maka lebih tepat dipakai kata “pejelasan sejarah”.

Hakekat Sejarah

Sejarah adalah ilmu yang mandiri. Mandiri, artinya mempunyai filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri, dan penjelasan sendiri. Beberapa pemahaman tentang sejarah :

  • SEJARAH : Menafsirkan, Memahami, Mengerti.

Sejarah bertumpu pada metode Verstenhen, yaitu pengalaman “dalam” yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman kemanusiaan. Verstehen atau understanding adalah usaha untuk “meletakan diri” dalam diri yang “lain”. Verstehen adalah mengerti “makna yang ada di dalam”, mengerti subjective mind dari pelaku sejarah.

  • SEJARAH : Memanjang dalam waktu, Terbatas dalam ruang.

Sejarah adalah ilmu diakronis, sedangkan ilmu social adalah ilmu sinkronis. Sejarah Ilmu diakronis sebab sejarah meneliti gejala-gejala yang memanjang dalam waktu, tetapi dalam ruang yang terbatas. Sementara ilmu social lainnya seperti ilmu politik, sosiologi dll, adalah ilmu sinkronis, yaitu ilmu yang meneliti gejala-gejala yang meluas dalam ruang, tetapi dalam waktu yang terbatas.

  • SEJARAH : Menuturkan gejala tunggal

Sejarah bersifat menuturkan gejala tunggal (ideographic, singularizing), sejarah menuturkan suatu obyek atau ide dan mengangkatnya sebagai gejala tunggal. Sementara ilmu social lain menarik hukum umum (nomothetic, generalizing), bermaksud menarik hukum karenanya mengangkat gejala-gejala umum.

Kaidah-Kaidah Penjelasan Sejarah

Pertama : Regularity (keajekan, keteraturan, konsistensi)

Regularity adalah penjelasan antar peristiwa yang mengandung prediksi sejarah menjadi pejelasan dalam peristiwa (inner coherence). Artinya secara ajek gejal-gejala muncul dimana saja terjadi suatu peristiwa. Contoh : pejelasan sejarah tentang sebab-musabab Revolusi Indonesia. Sekali diterangkan bahwa revolusi itu adalah revolusi pemuda, maka semua tempat peristiwa harus disebabkan oleh pemuda, baik dipusat maupun di daerah.

Kedua : Generalisasi

Adalah persamaan karakteristik tertentu. “suatu bagian yang menjadi cirri sebuah kelompok, juga menjadi ciri dari kelompok yang lain pula”. Konsep-konsep sejarah seperti “feodalisme”, “puritanisme”, dan “pergerakan nasional” semuanya mengandung generalisasi konseptual

Ketiga : Inferensi Statistik, Metode Statistik. Inferensi statistic dan metode statistic menjadi andalan dalam generalisasi.

Keempat : Pembagian waktu dalam sejarah

Sejarawan melakukan klasifikasi atas waktu, sejarawan membuat periodisasi. Realitas sejarah sendiri terus-menerus mengalir tanpa sekat-sekat, dan pembabakan waktu adalah hasil konseptualisasi sejarawan, suatu rasionalisasi. Rasionalisasi bukan generalisasi. Rasionalisasi lahir dari pemikiran teoritis, sedangkan generalisasi adalah hasil dari gejala empiris.

Kelima : Narrative History

Sejarah adalah cerita masa lalu. Tugas sejarawan adalah menyusun bersama secara teratur. Susunan yang teratur itu sendiri tidak terdapat dalam gejala sejarah, tetapi justru tugas sejarawanlah untuk membuatnya teratur. Cara sejarawan menyusun adalah dengan merekonstruksi masa lalu, menghubungkan fakta yang satu dengan yang lainnya, sehingga terbentuklah suatu cerita.

Keenam : Multi-Interpretable

Bahwa ilmu sejarah yang dipahami sebagai menafsirkan, memahami dan mengerti, cukup menjelaskan adanya subjectivisme dan relativisme dalam penjelasan sejarah. Sehingga sejarah bakal Multi-Interpretable.

Akhirnya….Sejarah adalah ilmu yang terbuka. Maka sejarawan harus jujur, tidak menyembunyikan data, dan bertanggung jawab terhadap keabsahan data-datanya.

Resume “Penjelasan Sejarah” Kuntowijoyo, Trilogi karya yang terwariskan.



GUNA SEJARAH

0 komentar

Orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyataan bahwa sejarah terus ditulis orang, disemua peradaban dan sepanjang waktu, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu. Tetapi bagi mereka yang meragukan hasil peradaban manusia ini, baiklah disini akan dipaparkan guna sejarah.

Sejarah itu berguna secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik, sejarah itu berguna sebagai pengetahuan. Seandainya sejarah tidak berguna secara intrinsik, yang berarti tidak ada sumbangannya di luar dirinya, cukuplah dengan nilai-nilai intrinsik. Akan tetapi, disadari atau tidak, ternyata sejarah ada di mana-mana.

Guna Intrinsik
Ada setidaknya empat guna sejarah secara intrinsik, yaitu (1) sejarah sebagai ilmu, (2) sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau, (3) sejarah sebagai pernyataan pendapat dan (4) sejarah sebagai profesi.

Sejarah sebagai ilmu. Sejarah adalah ilmu yang terbuka. Keterbukaan itu membuat siapapun dapat mengaku sebagai sejarawan secara sah (tidak seperti profesi lain seperti dokter, guru, wartawan dll) asal hasilnya dapat dipertanggung jawabkan sebagai ilmu. Sejarah sebagai ilmu dapat berkembang dengan berbagai cara : (1) perkembangan dalam filsafat, (2) perkembangan dalam teori sejarah, (3) perkembangan dalam ilmu lain dan (4) perkembangan dalam metode sejarah.

Sejarah sebagai cara mengetahui masa lampau. Selain mitos, sejarah adalah cara untuk mengetahui masa lampau. Ada setidaknya dua sikap terhadap sejarah setelah mengetahui masa lampaunya, yaitu (1) melestarikan atau (2) menolak. Melestarikan karena manganggap masa lampau itu penuh makna.

Sejarah sebagai pendapat. Banyak penulis sejarah yang menggunakan ilmunya untuk menyatakan pendapat. Sebagai contoh yang berkembang di Amerika ada dua aliran yang sama-sama menggunakan sejarah : (1) konsensus dan (2) konflik. Konsensus karena mereka berpendapat bahwa dalam masyarakat selalu ada konsensus, dan para sejarawan selalu bersikap kompromistis; sebaliknya konflik karena menekankan seolah-olah dalam masyarakat selalu terjadi pertentangan dan menganjurkan supaya bersikap kritis dalam berpikir tentang sejarah.

Sejarah sebagai profesi. Banyak profesi yang berkenaan dengan kesejarahan, diantaranya : guru sejarah, pegawai sejarah, pencatat sejarah, penulis dan peneliti sejarah.

Guna Ekstrinsik
Sejarah dapat digunakan sebagai liberal education untuk mempersiapkan mahasiswa supaya siap secara filosofis, tidak saja untuk yang akan belajar di Jurusan Sejarah. Secara umum sejarah mempunyai fungsi pendidikan, yaitu sebagai pendidikan :
• Moral
• Penalaran
• Politik
• Kebijakan
• Perubahan
• Masa depan
• Keindahan, dan
• Ilmu Bantu.

Fungsi Sejarah Menurut Al-Qur’an

0 komentar

Menurut Al-Qur’an paling tidak ada empat fungsi sejarah yang terangkum dalam q.s. 11/120, yaitu :

1. Sejarah berfungsi sebagai peneguh hati

2. Sejarah berfungsi sebagai pengajaran

3. Sejarah berfungsi sebagai peringatan

4. Sejarah sebagai sumber kebenaran

Dengan sejarah umat Islam dituntut untuk berfikir (q.s. 7/176) dalam arti menjadikan sejarah sebagai pelajaran dan peringatan untuk menentukan langkah berikutnya dari suatu kesinambungan risalah dalam menggapai tujuan li ‘ila kalimatillah.

Selain menjelaskan fungsi sejarah, Al-Qur’an juga menegaskan tentang akhir dari perjalanan sejarah. Menurut Al-Qur’an nasib akhir sejarah adalah kemenangan keimanan atas kekafiran, kebajikan atas kemunkaran, kenyataan ini merupakan satu janji dari Alloh SWT yang mesti terjadi.


Dalam bahasa Al-Qur’an Alloh menegaskan bahwa Alloh telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Alloh akan menjadikan mereka sebagai penguasa di muka bumi, Alloh akan meneguhkan dien yang diridhoinya, dan mengganti rasa takut dengan rasa aman. Kesemuanya tercantum dalam q.s. 24/55.

SEJARAH ADALAH REKONSTRUKSI MASA LALU

0 komentar

Pernahkah anda bermain-main dengan batang korek api? Sekalipun batang korek api itu terserak-serak tidak jelas bentuknya, Anda harus menyusunnya jadi petakan-petakan, orang-orangan, rumah-rumahan, dan sebagainya.

Ada definisi sejarah yang tautologis yang mengatakan bahwa sejarah ialah apa yang dikerjakan sejarawan. Tautologi ini menegaskan bahwa sejarawan mempunyai kebebasan dalam merekonstruksi. Yang mengikat sejarawan hanya „batang korek“ yang berupa fakta sejarah. Perumpamaan lain, sejarawan itu seperti dalang, ia dapat memainkan apa saja. Akan tetapi, ia dibatasi oleh wayang dan lakon. Taruhlah wayang sebagai fakta, dan lakon itu sebagai tema yang dipilih oleh sejarawan.

Apa yang direkonstruksi sejarah ? Ialah apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan di alami orang. Sejarawan dapat menulis apa saja, asal memenuhi syarat untuk di sebut Sejarah. Jangan dibayangkan membangun kembali masa lalu itu untuk kepentingan masa lalu sendiri; itu antikuarianisme dan bukan sejarah. Juga jangan dibayangkan masa lalu yang jauh.

Pengertian Sejarah

0 komentar

1.Pengertian Etimologis (Lughawi)

Istilah sejarah dalam bahasa arab dikenal dengan tarikh, dari akar kata arrakha (a-r-kh),yang berarti menulis atau mencatat; dan catatan tentang waktu serta peristiwa.[1] Akan tetapi, istilah tersebut tidak serta merta hanya berasal dari kata ini. Malah ada pendapat bahwa istilah sejarah itu berasaldari istilah bahasa Arab syajarah, yang berarti pohon atau silsilah. Makna silsilah ini lebih tertuju pada makna padanan tarikh tadi; termasuk kemudian dengan padanan pengertian babad, mitos, legenda dan seterusnya.[2] Syajara berarti terjadi, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah.pembungkaman sejarah

Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa, asal-muasal istilah sejarah yang dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi, meskipun begitu, banyak yang mengakui bahwa istilah sejarah berasal-muasal,dalam bahasa Yunani historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history, bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang terjadi, dan bahasa Belanda dikenal gescheiedenis.

Menilik pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu masalah waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodesasi.[3]

2.Pengertian Terminologis (Istilahi)

Istilah sejarah, dalam pengertian terminologis atau istilahi, juga memiliki beberapa variasi redaksi. R.G. Collingwood, misalnya mendefinisikan sejarah dengan ungkapan history is the history of thought (Sejarah adalah sejarah pemikiran); history is a kind of research or inquiry (Sejarah adalah sejenis penelitian atau penyelidikan). Pada kesempatan lain, Collingwood memaknakan sejarah (dalam artian penulisan sejarah atau historiografi), seperti membangun dunia fantasi (are peaple who bulid up a fantasy-word).[4]

Nouruzzaman Shiddiqie mendifinisikan sejarah sebagai peristiwa masa lampau yang tidak hanya sekadar memberi informasi tentang terjadinya peristiwa itu, tetapi juga memberikan interpretasi atas peristiwa yang terjadi dengan melihat hukum sebab-akibat.[5]

Jauh sebelumnya, Ibn Khaldun (1332 – 1406), dalam kitabnya al-Muqaddimah, telah mendefinisikan sebagai catatan tentang masyarakat umat manusia atau peradaban dunia; tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada watak masyarakat itu, seperti kelahiran, keramah-tamahan, dan solidaritas golongan; tentang revolusi dan pemberontakan rakyat melawan golongan lain; akibat timbulnya kerajaan-kerajaan dan negara dengan tingkatan bermacam-macam kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk mencapai kemajuan kehidupannya, berbagai macam ilmu pengetahuan, dan pada umunya tentang segala macam perubahan yang terjadi di dalam masyarakat karena watak masyarakat itu sendiri.[6]

R.Moh.Ali, mengemukakan pengertian sejarah mengacu dalam tiga makna :

1) Sejumlah perubahan-perubahan, kejadian-kejadian dan peristiwa kenyataan

2) Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian peristiwa realita

3) Ilmu yang bertugas menyelidiki perubahan-perubahan, kejadian dan peristiwa realitas.[7]

Menurut Sartono Kartodidjo, sejarah dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu sejarah mentalitas (mentalited history), sejarah sosial (sosiological history), dan sejarah struktural (structural history).[8]

Hegel berpendapat, bahwa sejarah terbagi menjadi sejarah asli, sejarah reflektif, dan sejarah filsafati. Pertama sejarah asli, yang memaparkan sebagian besar terbatas pada perbuatan, peristiwa dan keadaan masyarakat yang ditemukan di hadapan mereka. Kedua sejarah reflektif, adalah sejarah yang cara penyajiannya tidak dibatasi oleh waktu yang dengannya penulis sejarah berhubungan. Ketiga sejarah filsafati. Jenis ini tidak menggunakan sarana apapun kecuali pertimbangan pemikiran terhadapnya.

Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu, yaitu merekonstruksi apa saja yang sudah dipikirkan, dikejakan, dikatakan, dirasakan, dan dialami oleh orang. Namun, perlu ditegaskan bahwa membangun kembali masa lalu bukan untuk kepentingan masa lalu itu sendiri[9]. Sejarah mempunyai kepentingan masa kini dan, bahkan, untuk masa akan datang. Oleh kerenanya, orang tidak akan belajar sejarah kalau tidak ada gunanya. Kenyataannya, sejarah terus ditulis orang, di semua peradaban dan disepanjang waktu. Hal ini, sebenarnya cukup menjadi bukti bahwa sejarah itu perlu.

Sejarah merupakan suatu dialog yang tiada akhir antara masa kini dan masa lalu. Ini dapat dilihat berdasarkan kerangka keragaman (diversity), perubahan (change), dan kesinambungan (continuity) melalui dimensi waktu[10].

Sejak awal penulisan sejarah (historiografi) identik dengan politik. Bahkan Sir John Seeley, sebagaimana dikutip Mark M.Krug, mengatakan “History is past politics” dan politik adalah sejarah masa kini. Persepsi ini terbentuk karena kenyataan bahwa sejarah dianggap atau diperlakukan sebagai sejarah raja-raja, sejarah timbul atau tenggelamnya para penguasa, sejarah naik dan turunnya dinasti-dinasti, sejarah bangun dan runtuhnya rezim-rezim politik dan sebagainya. Pada perkembangan penulisan sejarah kekinian berkembang tiga jalur : (1) perkembangan sejarah politik yang dominan, (2) perkembangan sejarah sebagai biografi, dan (3) teori sejarah orang besar.


[1] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir : Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya; Pustaka Progressif, 1997), hal 17; Muhammad Ibn Mukarram Ibn Manzur, Lisan al-Arab , Vol 3, (Beirut: Dar al-Lisan al-Arab, 1970), hal 481.

[2] Sidi Gazalba, Pengantar Ilmu Sejarah, (jakarta: Bhratata, 1981), hal 11; K.Bertens, Panorama Fislafat Modern, (Jakarta, Gramedia, 1987); dan hariono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm 51; Cf.Lois Cottschalk, Mengerti Sejarah, terj Nugroho Noto Susanto, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm.27.

[3] Gordon Leff, History end Social Teory, (New York, Anchor Book, 1971).hlm. 117

[4] R.G. Collingwood, The Idea of History, (London: Oxford University Press, 1976). Hlm.9 dan 2.

[5] Nouruzzaman Shiddiqie, Pengantar Sejarah Muslim, (Yogyakarta, Nurcahaya, 1983), hlm.5.

[6] Abdurrahman Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, (Beirut; al-Mathba’ah al Khaldun, cet II, 1886), hlm 2-3. terj Ahmadie Thoha, Muqaddimah Ibn Khaldun, (Jakarta,Pustaka Firdaus, 1986). Hal 12-13.

[7] R.Moh.Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, (Jakarta; Bhratara, 1965), hlm. 7-8.

[8] Sartono Kartodirdjo, “Teori Sejarah dan Masalah Historiografi”,dalam Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta : Persembahan kepada Teuku Ibrahim Alfian. (Jakarta, Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Sinergis Press, 2002), hlm 5

[9]. Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah , Bentang, Yogyakarta, cetakan kelima Juli 2005, hal 18

[10] Nur Huda, Islam Nusantara, Ar-RuzMedia, Yogyakarta, 2007, hal 26

Hidup Adalah Lelucon Yang Baru Saja Dimulai