Membangkitkan Kesadaran Sejarah

Merangsang individu untuk memperhatikan sejarah! Itulah tema yang diusung oleh para guru besar, dosen dan mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM dalam unjuk rasa tanggal 25 Agustus lalu di bundaran UGM. Mereka tak rela jika ilmu sejarah disepelekan. Mereka tidak terima ilmu sejarah disebut tak mampu menjawab tantangan persoalan bangsa.

Untuk memberikan tempat yang proporsional pada sejarah, para pengunjuk rasa minta pemerintah tidak menganaktirikan ilmu sejarah. Mereka juga minta agar ilmu sejarah diajarkan kembali di sekolah-sekolah. “Idealnya Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan jasa-jasa para pahlawannya,” ungkap seorang pengunjuk rasa.

Pengunjuk rasa yang lain mengatakan, kalau kita belajar dari sejarah, maka berbagai persoalan bangsa yang terus mendera ini sejatinya tidak perlu terjadi, mulai dari ancaman perpecahan, permusuhan hingga merebaknya berbagai kasus korupsi.

Mungkin masyarakat tidak sengaja ingin melupakan sejarah. Tetapi, banyak faktor yang membuat ilmu sejarah terpinggirkan. Seorang pengunjuk rasa mengatakan salah satu penyebabnya adalah arus globalisasi. “Semangat kebebasan (liberalisme) yang dibawanya telah disembah banyak orang dan seolah memberi harapan akan kemajuan dan kemakmuran. Tanpa sadar warga bangsa pun mulai lupa akan ideologi negeri sendiri, Pancasila. Pancasila seolah berjalan tanpa penghayatan dan pengamalan, sehingga nasionalisme pun menghilang pelan,” tambahnya

Untuk menyelesaikan persoalan itu, kata Ketua Senat Akademik UGM, Prof Dr dr Sutaryo Sp(AK), kesadaran berkebangsaan, berke-Indonesia-an dan bernusantara harus diingatkan kembali. “Tidak hanya mengajarkan kembali ilmu sejarah di sekolah-sekolah, namun yang tak kalah penting adalah pemberian pelajaran ilmu bumi. Dua pelajaran itu mestinya diajarkan secara betul sejak taman kanak-kanak, SD, SMP hingga perguruan tinggi. Karena kelemahan sistim pendidikan sekarang ini adalah pelajaran ilmu sejarah dan ilmu bumi,” ujarnya.

Pak Taryo mengaku bahwa selama ini pelajaran ilmu sejarah dan ilmu bumi telah mencapai titik yang sangat lemah. Kedua ilmu tersebut dianggap tidak mampu lagi membina, memasukkan nilai-nilai bersifat kebangsaan. “Padahal tanpa pelajaran sejarah dan ilmu bumi, rasa nasionalisme tentu akan berkurang. Sehingga saya usulkan ilmu sejarah dan ilmu bumi harus ditanamkan sejak awal. Itu pun tidak harus sejarah yang ndakik-ndakik. Cukup sejarah lokal dulu baru nasional, sehingga akan terbentuk sikap saling menghormati,” tambahnya.

Menggugat perguruan tinggi

Menurut Pak Taryo, peguruan tinggi, sebagai benteng moral tertinggi, secara politis sudah seharusnya mengingatkan bila saat ini terdapat kesalahan umum dalam memberikan kuliah/pelajaran sejarah dan ilmu kebumian. Karena kedua ilmu itu diyakini memiliki andil yang tidak sedikit dalam membentuk karakter bangsa. Tetapi, yang terjadi adalah, keduanya hanya sebatas diajarkan. Keduanya belum menyentuh semua mata pelajaran.

“Untuk menciptakan kepribadian atau mengubah kepribadian yang paling efisien adalah melalui pendidikan. Di luar itu secara nasional dan politis memang ada upaya, namun nampaknya ada pengenceran terhadap rasa nasionalisme,” tambah Pak Taryo.

Pak Taryo menduga, sejak Indonesia merdeka sesungguhnya negara-negara barat merasa tidak senang. Tidak saja Belanda, Inggris, Jepang, tapi meliputi pula ideologi kapitalisme mereka. “Karena sejak awal Indonesia sudah menyatakan anti kapitalisme. Sehingga kapitalisme global itu paling tidak senang, kalau Indonesia ini menjadi negara yang kuat dan berdiri diatas akar-akar budaya sendiri. Kalaupun kemudian rasa nasionalisme saat ini redup, ini menunjukkan manifestasi keberhasilan kapitalisme global untuk meredusir rasa kebangsaan Indonesia,” ungkapnya.

Memperingati hari bersejarah

Sebagai upaya lain, Pak Taryo berharap peringatan-peringatan hari bersejarah di tanah air diadakan kembali. Peringatan ini harus dilakukan oleh sekolah-sekolah, seperti yang dilakukan hingga tahun 1990 an dulu.

“Namun sekarang mulai dilupakan. Padahal untuk pembelajaran sejarah sebenarnya peringatan-peringatan hari bersejarah itu harus diulang. Diulang dan diulang lagi,” harapnya.

Pak Taryo menjelaskan bahwa pelajaran ilmu sejarah untuk murid-murid SD, SMP, SMA jaman dulu mungkin membuat murid bisa merasakan dan menggambarkan bagaimana “ngrekosone” dijajah. Generasi muda sekarang tidak bisa lagi merasakan penderitaan bangsa ini. Mereka tidak bisa menghargai perjuangan para pedahulu mereka. Bukan mustahil mereka tidak bisa memaknai merdeka secara tepat setiap kali peringatan proklamasi tanggal 17 Agustus.

“Itu bedanya. Sehingga rasa ketertindasan kemudian muncul sebagai negara merdeka dengan peluh darah dan air mata itu tidak dirasakan. Dulu kita bisa merasakan betul, karena berbagai peristiwa sejarah selalu diperingati secara berulang-ulang,” ungkap guru besar Fak. Kedokteran UGM ini.

Keprihatinan Pak Taryo bertambah manakala menemukan cerita-cerita kepahlawanan dalam keluarga tergantikan program televisi. Acara-acara TV itu terkadang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pendidikan kebangsaan. “Ini mestinya di sekolahan-sekolahan mulai dengan gambar-gambar pahlawan. Kalau perlu diterangkan gambar siapa itu, perjuangannya apa. Sekarang mungkin masih ada gambar-gambar itu, namun nampaknya gurunya juga tidak tahu itu gambarnya siapa,” jelas pak Taryo sembari tersenyum.

Mencegah erosi nasionalisme

Sebagai universitas perjuangan, UGM mestinya mampu menanggulangi erosi nasionalisme di kalangan generasi muda. Bukankah proses kelahiran UGM sendiri tak dapat dipisahkan dari lahirnya Republik Indonesia?

Kalau kita simak buku Sejarah Lahirnya UGM yang diterbitkan Senat Akademik UGM, salah satu aspek yang membedakan UGM dengan perguruan tinggi lain adalah penerusan perjuangan. Di situ disebutkan bahwa hubungan RI-Kraton-UGM sangat jelas. Semangat perjuangan para pendiri wajib diteruskan untuk menjadi kesadaran perjuangan, dan akhirnya menjadi tindakan yang sesuai dengan cita-cita pendiri UGM: pemikir pejuang, pejuang pemikir (wawancara dan penulisan: Agung; editing: Abrar)

sumber ; ugm.ac.id

0 komentar:

Posting Komentar

Hidup Adalah Lelucon Yang Baru Saja Dimulai