Dosa-dosa Demokrasi

Oleh : YASRAF AMIR PILIANG

(Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD, Institut Teknologi Bandung)

SETELAH kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada 1998, “sistem demokrasi” dilihat sebagai satu-satunya harapan yang dapat membawa bangsa ini menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Akan tetapi, setelah lebih dari satu dekade masa transisi, yang tumbuh di kalangan masyarakat adalah pandangan pesimistis atau skeptis terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Sistem demokrasi lebih dilihat sebagai “masalah” ketimbang “solusi”, “ekses” ketimbang “pencerahan”, “disorder” ketimbang “order”.

Demokrasi malah diasosiasikan dengan aneka bentuk kekerasan massal, kekacauan publik, demonstrasi anarkistis, tindak kejahatan, ketiadaan hukum, matinya etika, runtuhnya tabu dan ketakpedulian sosial yang akut. Demokrasi dijadikan raison d`etre bagi orang atau kelompok tertentu untuk memaksakan kehendak, melampiaskan hasrat, mengutamakan ego, merayakan ekspresi bebas, perilaku menyimpang, dan perbuatan amoral. Demokrasi, ironisnya, justru menjadi “kendaraan” menuju “anarkisme”.

Akan tetapi, menolak demokrasi bukanlah sebuah ajakan bijak pula. Karena sejauh ini tak ada pilihan ideologis lain yang lebih menjanjikan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana membangun “optimisme” secara nasional tentang kekuatan demokrasi dalam membangun masyarakat sejahtera. Bagaimana menafsir ulang demokrasi sebagai kekuatan “pengubah”, “progresif”, “dinamis”, dan “transformatif”, sehingga ketimbang dianggap sebagai “duri” di dalam tubuh bangsa, ia semestinya dilihat sebagai “energi perubahan” ke arah yang lebih baik.

**

MEMANG, proses demokratisasi pada kenyataannya telah meninggalkan berbagai “dosa” kolektif, yang malah mengancam integrasi bangsa. Pertama, ketakmampuan merumuskan batas-batas “kebebasan” dan “kedaulatan” (sovereignty) dalam kerangka demokrasi. Di dalam rezim Orde Baru, negara tampil terlalu “kuat” (strong state), sementara masyarakat terlalu “lemah” (weak society). Akan tetapi, di dalam era reformasi, terjadi pembalikan relasi kedaulatan, di mana negara terlalu lemah, sementara masyarakat terlalu kuat, sehingga “kebebasan” tak mampu “dikelola” dengan efektif oleh negara melalui regulasi. (Joel S. Migdal, Strong Societies and Weak States, 1988).

Di pihak lain, pada tingkat komunitas politik-yaitu partai politik-kebebasan lebih diartikan sebagai “kebebasan eksperimentasi politik” dan “komunikasi politik”, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial dan pendidikan warga. Sehingga, demokrasi “meruntuhkan maknanya sendiri”, yang menggiring ke arah “demokrasi nihilistik”, yaitu permainan bebas “citra politik”, yang tercabut dari kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan yang sesungguhnya.

Ruang politik disarati oleh jutaan citra politik manipulatif, yang menggiring pada “desubstansialitas politik”, yaitu terabaikannya aneka persoalan substansial, di balik gemerlap kemasan citra politik.

“Rekayasa citra” (political imagineering) mengambilalih “rekayasa sosial” (social enggineering), di mana solusi-solusi sosial yang riil direduksi menjadi retorika-retorika visual, yang sugestif dan manipulatif. Desubstansialitas demokrasi menggiring pada “ketercabutan politik” dari realitas masyarakatnya sendiri.

Selain itu, demokrasi yang minim regulasi, menggiring ke arah kondisi “melampaui” (hyper), yaitu segala sesuatu yang bergerak ke arah “berlebihan”, “keterlaluan” atau “ekstrimitas”. Ketika dalam proses demokratisasi tak mampu dibangun batas dan norma yang jelas, maka segala sesuatu bertumbuh ke arah titik ekstrim: “kebebasan” yang berlebihan, tuntutan “hak” (right) yang melampaui kapasitas, “tindakan” yang bergerak melewati hukum, sehingga demokrasi dipenuhi oleh beban berlebihan dan ekses. Di sini, demokrasi menjelma menjadi “hiper-demokrasi” (hyper-democracy), yaitu demokrasi yang bertumbuh “melampaui” batas-batas alamiah dan idealnya, sehingga ia kehilangan esensi, makna, dan tujuannya sendiri (Jean Baudrillard, Fatal Strategies, 1990).

“Hiperdemokrasi” adalah kondisi pertumbuhan elemen-elemen demokrasi (partai, organisasi, aturan, citra, komunikasi, informasi, atribut, simbol) yang melampaui batas rasionalnya, sehingga ia kehilangan konteks, makna, dan tujuannya bagi demos itu sendiri, yaitu kedaulatan warga.

Pemilihan umum legislatif yang lalu merupakan cermin dari kondisi “hiper-demokrasi” itu, di mana pertumbuhan kebebasan (membuat partai, menjadi caleg, melakukan komunikasi politik, memilih) tidak sebanding dengan kemampuan otoritas negara dalam membuat, merumuskan, menyosialisasikan, dan menegakkan aturan atau regulasi politik, sehingga menimbulkan kondisi political chaos yang belum pernah dialami sebelumnya.

**

MASALAH sentral dalam proses demokratisasi adalah bagaimana merumuskan batas, kadar, tingkatan, serta konteks “kebebasan” (freedom), sebagai prinsip sentral demokrasi. Ketimbang menjadi prinsip pembangun, kebebasan itu sering justru menjadi “duri” dalam tubuh demokrasi itu sendiri. Di sini, perlu reinterpretasi terhadap “makna” kebebasan dalam konteks demokrasi kita: apakah kebebasan itu pada tingkat “individual” atau “sosial”? Apakah ia “tanpa batas” atau “terbatas”? apakah ia bersifat “absolut” atau “relatif”?
Yang pasti, di dalam sistem demokrasi versi apapun, tidak ada yang disebut “kebebasan penuh”. Pemahaman terhadap “keterbatasan kebebasan” inilah yang tidak dibangun di dalam proses demokratisasi selama ini.

Dinamika demokrasi mengikuti prinsip ayunan “pendulum”, antara “kebebasan” (individu, komunitas, masyarakat) dan “regulasi” (negara). Semakin minimal regulasi, semakin maksimal kebebasan, dan sebaliknya. Sistem demokrasi mencari titik “keseimbangan ideal” di antara dua gaya pendulum ini. Akan tetapi, dalam proses demokratisasi selama ini, “keran” kebebasan dibuka tanpa otoritas regulasi yang kuat, sehingga menimbulkan aneka ekses baik pada tingkat individu, komunitas politik (partai) dan masyarakat.

Demokrasi kini menjadi panggung pertunjukan “kebebasan” (bertindak, berbicara, protes, manipulasi, persuasi, berekspresi) tanpa ada respek terhadap aneka regulasi dan aturan. Akibatnya, penyusunan aneka rancangan undang-undang (jabatan, profesi, buruh, pornografi, pendidikan, media) cenderung diterima secara negatif, karena dianggap membatasi kebebasan individual dan kelompok. Padahal, kekuatan demokrasi adalah pada aturan bersama.

Proses demokratisasi yang berlangsung dapat diartikan sebagai pergerakan budaya politik ke arah “individualisme”. Politik yang berwatak “individualisme” menjadikan individu sebagai “inisiator” dalam kompetisi perebutan kekuasaan, yang membangun “kepercayaan” masyarakat melalui “politik pencitraan” (politic of image).

Media komunikasi dimanipulasi untuk menciptakan “citra diri”, sebagai cara menggiring persepsi dan preferensi politik masyarakat. Di masa depan, tampaknya perlu semacam “reposisi” subjektivitas ini, agar tidak terjadi asimetri politik.

Demokrasi yang direduksi menjadi “permainan citra” akan menciptakan “demokrasi tak efektif”, karena aktivitas demokrasi terkonsentrasi pada pembangunan kekuasaan melalui “permainan citra”, dengan mengabaikan realitas sosial. Demokrasi tidak mempunyai fondasi dan legitimasi kuat di dunia “riil”, karena figur politik sering tidak mempunyai kompetensi, kemampuan, dan kapasitas seperti yang dilukiskan melalui citra. (Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, 2004). Di sini, tugas masa depan adalah: bagaimana menciptakan “demokrasi yang efektif”?

**

UNTUK menghasilkan “demokrasi yang efektif”, dengan citra yang baik, dan pandangan yang optimistik, diperlukan upaya “reinterpretasi demokrasi”. Perlu upaya “pengayaan demokrasi” secara konseptual, dengan mengambil pelajaran dari “etika kekuasaan” yang berbasis kearifan lokal dan indigenous knowledge, yang bergerak ke arah pendulum yang sebaliknya.

Pertama, “etika de-individualisme”. Di dalam sistem nilai lokal, individu tidak menjadi entitas otonom dan “titik sentral” kekuasaan. Komunitas yang menjadi “inisiator” dalam mendorong seorang individu menjadi pemimpin, berdasarkan “kepercayaan” (trust) yang dibangun, ditempa dan “diuji” di dalam “praksis” sosial keseharian. Seorang individu tidak mencari-cari “kuasa”, tetapi komunitas yang membangunnya. Melalui “nilai-nilai komunitas” inilah “budaya malu” dibangun, kompetensi dipentingkan, rasa tanggung jawab diutamakan, dan prestasi sosial dijunjung tinggi.

Kedua, “etika ketulusan”, yaitu memberi tanpa pamrih. Proses demokratisasi sejauh ini telah membangun watak “politik ketaktulusan”, di mana orang memberi bantuan (dana, sarana, barang, infrastruktur), semata karena kepentingan politik, yaitu agar dipilih dalam pemilu. Akibatnya, pilihan politik yang diberikan juga tak tulus. Padahal, nilai-nilai kearifan lokal mengajarkan kita tentang etika memberi, semata dilandasi “moral kebaikan” (good will), dan kebaikan ini menjadi modal kepercayaan, tanpa perlu direkayasa.

Ketiga, “etika merayakan keutamaan” (virtue). Demokrasi yang berbasis individu dan citra lebih merayakan penampakan luar (appearance) ketimbang kedalaman isi, manipulasi citra ketimbang kompetensi, simulasi ketimbang realitas. Padahal, budaya lokal mengajarkan cara menilai seseorang berdasarkan “keutamaan” yang ia perlihatkan: kecerdasan, kecakapan, tanggung jawab, bukan tumpukan materi dan uang. Demokrasi yang tanpa basis keutamaan, hanya menjadi medan perebutan kekuasaan melalui tumpukan materi dan gemerlap citra.

Keempat, “etika dialogisme” (ethics of dialogism), yaitu etika saling bertukar dan memahami secara mutual (mutual understanding). Demokrasi sejauh ini cenderung bersifat eksploitatif, yaitu mengambil (dari rakyat), tanpa memberi (pendidikan warga). Nilai-nilai dialogisme yang bersifat lokal di sini dapat dijadikan pondasi untuk membangun semacam “demokrasi dialogis” (dialogical democracy), di mana ada “pertukaran gagasan” (ideological exchange) antara elite politik dan komunitasnya, bukan “retorika satu arah”, yang berkembang selama ini.

Kelima, “etika kejujuran”. Virtualitas demokrasi, yang menggantungkan diri pada politik pencitraan, sejauh ini telah menciptakan watak “politik ketakjujuran”, di mana komunikasi justru menjadi ajang manipulasi ketimbang kehendak akan “kebenaran” (truth). Demokrasi berbasis kejujuran tak mengandalkan pada citra, tetapi pada akumulasi tindak dan karya. Komunikasi politik adalah sarana semata untuk menyampaikan pesan politik, bukan sarana penciptaan “kesadaran palsu” (false consciousness) .

Demokrasi yang dibangun di atas pondasi “kearifan lokal” dan indigenous knowledge, dapat menjadi demokrasi dengan fundamental dan legitimasi yang kuat, karena hidup di dalam “ruang politik riil”, bukan “imagologi virtual”. Sistem demokrasi dibangun di atas pondasi mutual checking antara pemerintah, komunitas, dan aktor-aktor politik, sehingga aneka “perilaku menyimpang” dalam politik dikoreksi secara mutual. Hanya melalui demokrasi dialogis berbasis lokal itulah, dapat diciptakan sebuah masyarakat politik yang cerdas, kritis, dan penuh optimisme di masa depan.***

Sumber : Koran PR

0 komentar:

Posting Komentar

Hidup Adalah Lelucon Yang Baru Saja Dimulai